Habibie dan Cerita Terusir dari Tanah Bugis
jpnn.com - Di balik nama besarnya, mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menyimpan beribu kenangan tentang kehidupannya. Di mulai dari masa kecil yang sempat diselimuti duka, hingga masa remaja yang berliku.
Habibie tidak bisa memilih siapa yang akan melahirkannya. Dia terpilih menjadi anak keempat pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo
Pasangan yang sejak menikah harus terusir dari keluarga besarnya. Alwi yang adalah orang Bugis Gorontalo tidak bisa diterima keluarga Tuti yang ningrat Jogjakarta. Demikian pula sebaliknya.
"Kenapa dulu menikah harus dengan saudara sendiri? Supaya tanah atau harta tidak jatuh ke orang lain. Makanya, sebisa mungkin menikah dengan sepupu atau kerabat dekat," kata Habibie kepada Jawa Pos di Wisma Habibie-Ainun, Kawasan Patra Kuningan, Jakarta.
"Karena itu, ketika Papi saya yang Bugis menikahi Mami yang Jawa, keluarga besar memusuhi," lanjutnya dengan mata terbuka lebar.
Tuti, seorang siswa HBS (sekolah menengah zaman kolonial), berkenalan dengan Alwi yang tengah belajar di Sekolah Pertanian Bogor. Cinta pun bersemi. Mereka lantas memutuskan untuk menikah. Bahwa kedua keluarga besar menolak, mereka tetap ngotot.
Karena tidak diterima keluarga besar, mereka memilih hidup mandiri. Meninggalkan rumah orang tua di Gorontalo. Dengan bekal pendidikannya yang sangat tinggi ketika itu, Alwi memboyong keluarganya untuk tinggal di Parepare, tempat dia bekerja sebagai ahli pertanian. Tuti memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak mereka di rumah
Meski harus jauh dari keluarga, Alwi dan Tuti bisa hidup dengan tenteram serta berkecukupan. Banyak anak banyak rezeki. Mereka membimbing anak-anaknya dalam suasana intelektual dan keagamaan yang tinggi.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Alwi pergi terlalu cepat karena serangan jantung. Pada 13 September 1950, dia meninggal dalam usia masih 42 tahun. Ketika itu, mereka sudah tinggal di Makassar. Tuti yang saat itu hamil tujuh bulan harus menghidupi tujuh anak seorang diri.
"Demi Allah, seluruh anak-anak akan kusekolahkan setinggi-tingginya dengan biaya dan keringatku sendiri," kata Habibie mengenang janji maminya ketika itu.
Masih dalam suasana berduka tidak lantas membuat Tuti segan untuk menunaikan janji kepada almarhum suaminya.
Baru berselang beberapa hari dari peringatan 40 hari meninggalnya Alwi, Tuti mengirimkan Rudy, sapaan Habibie, ke Jakarta. Tujuannya, Habibie mendapatkan sekolah yang lebih baik.
Padahal, ketika itu Habibie yang kelahiran 25 Juni 1936 baru berusia 14 tahun. Dia harus berlayar selama tiga hari seorang diri. Bocah bertubuh kecil itu hanya berbekal foto pamannya, Subarjo, yang akan menjemputnya di Tanjung Priok. Beberapa bulan bersekolah di Jakarta, Habibie tidak kerasan. Cuaca yang panas membuat prestasinya drop.
Padahal, selama di Sulawesi, dia selalu memperoleh rapor bagus. Dia pun memutuskan untuk pindah ke Bandung. Harapannya, dengan cuaca sejuk, dirinya bisa belajar dengan lebih baik. Habibie semakin kerasan di Bandung karena setahun kemudian, pada 1951, maminya menyusul ke Kota Kembang.
Bersama saudara-saudaranya. Keputusan itu diambil Tuti karena dia merasa akan buruk bagi Habibie jika saat masih kecil seperti itu harus tumbuh sendiri.
Tuti menjual seluruh asetnya di Parepare dan Makassar. Di Bandung, dia membeli tiga rumah di Jalan Imam Bonjol. Rumah tersebut sekaligus menjadi tempat usahanya. Mulai menyewakan kamar untuk indekos, mes, hingga usaha katering.
"Dia mungkin perempuan pertama yang membuat katering di Indonesia. Kalau zaman sekarang, dia itu bisa disebut entrepreneur," puji Habibie tentang ibunya.
Di Bandung itulah, Habibie remaja mulai betah mengenyam pendidikan dan memulai semua perjuangannya sebelum mencapai sukses sampai hari ini. (bersambung/and/c5/ang/flo/jpnn)
Di balik nama besarnya, mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menyimpan beribu kenangan tentang kehidupannya. Di mulai dari masa kecil yang sempat
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Mensos Gus Ipul Pantau Kebutuhan Pengungsi Erupsi Lewotobi, Bantuan Terus Bergulir
- Bantah Pengepungan Kejagung, Dankorbrimob: Tidak Ada yang Superior Di Republik Ini
- Anggap Menteri Hukum Tak Cermat Teken Aturan, Pimpinan GPK Mengadu ke Presiden Prabowo
- Bali Jadi Destinasi Utama Wisata Medis Estetika di Asia Tenggara
- Aksi Solidaritas Palestina, Mahasiswa Serukan Boikot Produk Terafiliasi Israel
- Gali Potensi Lokal, Mendes PDT Yandri Susanto Keliling Desa di Banten