Hajatan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Hajatan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat membuka HUT Ke-495 Jakarta yang bertajuk ‘Jakarta Hajatan’ di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Selasa (24/5). Foto: Ryana Aryadita Umasugi/JPNN.com

Wajar saja kalau ada yang curiga bahwa perjodohan ini ada bau politik. Tentu saja lebay kalau mencurigai pernikahan ini setting-an atau paksaan ala Siti Nurbaya. 

Akan teapi, kalau ada kecurigaan bahwa perjodohan ini akan membawa implikasi politik pada beberapa waktu ke depan, maka kecurigaan itu adalah hal yang wajar.

Sebagai pemegang public office tertinggi di Indonesia wajar saja kalau Jokowi menjadi perhatian publik selama 24 jam. 

Public scrutiny, pengawasan publik, adalah bagian dari demokrasi. Publik berhak mengetahui kiprah seorang presiden setiap hari. 

Kadang pengawasan publik itu tidak lagi bisa membedakan antara ranah publik seorang pejabat dengan ranah privat sebagai warga negara.

Hal yang sama berlaku bagi Anwar Usman. Sebagai ketua MK keputusan-keputusan yang diambilnya akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia. 

MK adalah benteng penjaga dan pengawal konstitusi. Lembaga ini menjadi ‘’the last bastion of constitution’’, benteng terakhir konstitusi yang menjamin konstitusi tetap berjalan pada relnya.

Karena dua posisi strategis itu dipegang oleh dua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat, maka wajar kalau muncul pertanyaan mengenai independensi. Sebuah lembaga sepenting MK harus independen dari semua kepentingan. MK harus selalu kedap dari pengaruh politik dan interest pribadi dari mana pun datangnya.

Jokowi mengingatkan ojo kesusu karena masih ada calon kuat lain yang bisa menjadi ganjalan serius bagi Ganjar. Siapa lagi kalau bukan Anies Baswedan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News