Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019
Ia berpendapat kebanyakan masalah kejiwaan di Indonesia tidaklah permanen, tetapi sebuah pola psikologis yang disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti stress atau depresi.
"Kalau gangguan mental mereka kambuh, mereka juga tidak akan berpikir untuk datang memilih, bukan?," tegasnya.
Karenanya, menurut Yeni pernyataan surat dokter sebelum mencoblos tidaklah perlu, karena kondisi mereka bisa saja berubah pada hari pemilu.
Menurut keduanya pemahaman seperti ini yang perlu diketahui oleh masyarakat, agar tidak lagi memandang negatif warga dengan gangguan jiwa datang ke TPS.
Isu hak pilih warga difabel mental jadi alat politik
Mempertanyakan hak pilih warga difabel mental di Pemilu 2019 menurut Yeni bukan hanya bentuk diskriminasi, tapi juga sudah dipolitisasi.
"Para pemain politik menggunakan isu hak pilih yang dimiliki warga difabel mental sebagai alat politik," ujarnya.
"Mereka menggunakan isu ini untuk menyerang pesaingnya, bahkan melakukan tindakan bullying," tambah Yeni.
- Misinformasi Soal Kenaikan PPN Dikhawatirkan Malah Bisa Menaikkan Harga
- Dunia Hari Ini: Mantan Menhan Israel Mengundurkan Diri dari Parlemen
- Dunia Hari Ini: Pemerintah Korea Selatan Perintahkan Periksa Semua Sistem Pesawat
- Jakarta Punya Masalah Kucing Liar, Penuntasannya Dilakukan Diam-diam
- Dunia Hari Ini: Ada Banyak Pertanyaan Soal Kecelakaan Pesawat Jeju Air
- Sejumlah Berita dari Indonesia yang Menarik Perhatian Australia di 2024