Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019

"Terlepas dari siapa yang mereka dukung, kita hanyalah ingin melindungi hak setiap orang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memilih"
Dr Lahargo Kembaren, psikiater sekaligus kepala instalasi rehabilitasi psikososial di RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat, mengatakan, hak pilih merupakan hak legal pasien kejiwaan karena sudah disepakati di konvensi internasional.
"Konvensi CRPD (konvensi atas hak-hak penyandang disabilitas) itu sudah ditandatangani dan diratifikasi oleh Indonesia, bahwa itu adalah suatu hal yang memang harus diakui, memang harus ada dan tidak boleh diabaikan hak tersebut," jelasnya kepada ABC.
Ia menambahkan, pendampingan bahkan tidak diperlukan untuk pemilih dengan gangguan jiwa.
"Buat apa didampingi? mereka bisa jalan, mereka bisa tahu apa yang mau dipilih."
Ia lantas menceritakan pengalaman Pemilu 2014 di RS Marzoeki Mahdi.
"Lima tahun lalu, kebetulan ada beberapa pasien (kejiwaan) yang kita tanyakan 'ayo sekarang ini jadwalnya memilih', dia menolak, dia enggak mau, ya itu haknya dia kan?. Sama juga orang yang mau golput misalnya, itu hak yang bersangkutan. Jadi tidak ada perbedaan di sini."
Menurut Lahargo, tugas pihak rumah sakit terhadap pasien kejiwaan adalah melakukan sosialisasi, sama halnya dengan yang didapat masyarakat umum.
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia
- Dunia Hari Ini: Katy Perry Ikut Misi Luar Angkasa yang Semua Awaknya Perempuan
- Dunia Hari Ini: Demi Bunuh Trump, Remaja di Amerika Habisi Kedua Orang Tuanya