Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019
"Pihak rumah sakit hanya memberikan angka saja, tidak berkenan memberikan data by name [penyebutan nama] dengan alasan kode etik".
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi adalah salah satu RS yang mengaku sudah berkoordinasi dengan KPU setempat terkait pendataan. Namun mereka menuturkan kondisi di instalasi rehabilitasi psikososial yang menangani pasien gangguan kejiwaan sedikit berbeda.
"Tahap pendataan sebenarnya sudah masuk tapi kita sudah sampaikan kalau, pasien kejiwaan itu turnover (pergantian)-nya 40 hari, kita baru bisa kasih data ke mereka biasanya 2-3 minggu sebelum pencoblosan," jelas Dian Priatama, Humas RS Marzoeki Mahdi kepada ABC (17/1/2019).
Dian mengatakan, pemberian data pasien kepada pihak di luar rumah sakit memang terkait erat dengan kode etik.
"Tapi kalau untuk urusan Pemilu kan, tadi seperti yang sudah saya bilang, misalnya dia punya KTP, terus kan kejiwaan itu macam-macam, tidak semua tidak bisa kita berikan datanya. Kalaupun kita berikan data biasanya keluarga kita hubungi dulu."
Photo: Jumlah pemilih tetap dari kelompok disabilitas grahita dan mental untuk Pemilu 2019. (Supplied; KPU)
Pihak Rumah Sakit Jiwa biasanya mulai melakukan sosialisasi satu atau dua bulan sebelum Pemilu dan mempersilahkan keluarga pasien untuk menghubungi mereka.
Meski demikian ada persoalan teknis yang dirasa Dian masih mengganjal.
- Jumlah Penularan Kasus HMPV Terus Bertambah di Tiongkok, Virus Apa Ini?
- Dunia Hari Ini: Facebook dan Instagram Akan Berhenti Menggunakan Mesin Pengecek Fakta
- Dunia Hari Ini: PM Kanada Justin Trudeau Mundur karena Popularitasnya Menurun
- Program Makan Bergizi Gratis Diharapkan Menyasar Anak Indonesia di Pedalaman
- Dunia Hari Ini: Etihad Batal Lepas Landas di Melbourne karena Gangguan Teknis
- Kabar Australia: Sejumlah Hal yang Berubah di Negeri Kangguru pada 2025