Hambar dan Tetap Lapar: Merasakan Makan Seperti Pengungsi Suriah di Yordan
Keduanya terinspirasi untuk merasakan hidup seperti pengungi selama seminggu setelah berkunjung ke kamp pengungsi Mae la di perbatasan Thailand dan Myanmar.
Mereka bertemu dengan seorang ayah yang pernah melarikan dari kampungnya setelah dibakar oleh militer Myanmar. Pria tersebut kemudian menunjukkan persediaan makanan yang dikirim ke kamp-nya setiap pekan dan mengaku merasa lapar setiap malam.
Salah satu alasan saya tertarik untuk mengikuti tantangan ini pun cukup sama, ingin merasakan hidup seperti pengungsi, setidaknya dari apa yang mereka alami di kamp pengungsi.
Tapi tentu saja masih banyak aspek-aspek 'kemewahan' yang tetap bisa saya dapatkan, seperti tidur dengan nyaman, memiliki beragam pilihan pakaian untuk menyesuaikan cuaca yang saat ini sedang musim dingin di Melbourne.
Photo: Keluarga pengungsi asal Suriah ini kini tinggal di tenda pengungsi di Irak utara. Ayah mereka meninggal dua tahun lalu. (UNHCR, Andrew McConnell)
Menggalang dana mendapat garam
Selain sekardus bahan-bahan makanan, peserta tantangan juga mendapatkan tips dan buku resep, untuk mendapatkan ide-ide masakan apa yang bisa dibuat.
Misalnya membuat bubur, tentu saja dengan kandungan air yang banyak sehingga sangat cair.
Selama beberapa hari juga saya memaksa memakan sup lentil dan sup kacang, kerupuk yang dibuat hanya dari tepung, dan chickpeas yang dipanggang di dalam oven.
- Inilah Sejumlah Kekhawatiran Para Ibu Asal Indonesia Soal Penggunaan Media Sosial di Australia
- Dunia Hari ini: Trump Bertemu Biden untuk Mempersiapkan Transisi Kekuasaan
- Dunia Hari Ini: Penerbangan dari Australia Dibatalkan Akibat Awan Panas Lewotobi
- Dunia Hari Ini: Tabrakan Beruntun Belasan Mobil di Tol Cipularang Menewaskan Satu Jiwa
- Korban Kecelakaan WHV di Australia Diketahui Sebagai Penopang Ekonomi Keluarga di Indonesia
- Trump Menang, Urusan Imigrasi jadi Kekhawatiran Warga Indonesia di Amerika Serikat