Hanoman MC

Oleh: Dahlan Iskan

Hanoman MC
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Maka, lewat HP, saya lakukan apa yang harus dilakukan. Sehari saya kontrol  tiga-empat kali: vitamin apa saja yang harus diminum, latihan apa yang harus dipaksakan dilakukan.

Membaik. Sembuh. Saya terkesan dengan keuletan hidup ibu itu: bagaimana harus mencukup-cukupkan hidup. Tanpa pernah mengeluh. Penghasilan kecil. Anak-anak harus tetap sekolah tinggi. Harus pula memperbaiki rumah.

Begitu sembuh, terpikir oleh sang ibu: perkawinan putrinyi belum pernah dirayakan. Saya datang lagi bulan lalu: untuk resepsi perkawinan itu.  Pengantin wanitanya sudah hamil muda.

Begitu rukun semua warga di gang itu. Depan-depan rumah mereka jadi tempat duduk tamu. Pasti tidak perlu sewa. Itulah bagian dari gotong royong yang masih hidup di zaman digital.

Resepsi hari itu pakai adat Jawa. Tidak perlu ada panggung. Hanya ada backdrop di belakang pengantin –melintang menutup gang. Juga ada karpet di bawah kursi pengantin.

Warna hiasan di gang itu meriah, menambah suasana gembira.

Sebanyak 20-an jenis peralatan dapur digantung berjejer di teras rumah tetangga –yang sudah jadi bagian dari arena resepsi ini. Itulah bagian dari adat Jawa: resepsi perkawinan harus menampilkan semua peralatan dapur. Setelah acara selesai alat-alat dapur itu boleh diambil.

Dibawa pulang. Kadang sampai rebutan –mengincar alat dapur yang paling berharga.

Begitu simple resepsi perkawinan ini. Tetap terasa meriah. Mengalir lancar. Seluruh acara cukup dikendalikan dua orang: Hanoman untuk di pelaminan dan MC untuk selebihnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News