Hargai Demokrasi Ala Jogjakarta
Rabu, 08 Desember 2010 – 06:26 WIB
Menjelang wafat, sang raja tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan secara serta merta sosok putra mahkota yang nanti akan menggantikannya. Biasanya, proses penggantian dilakukan dengan meninggalkan Keris Jaka Piturun kepada salah satu keturunannya sebagai tanda ahli waris takhta. Hingga meninggal, tidak ada keturunaannya yang diberikan keris tersebut.
Karenanya, penobatan KGPH Herjuno Darpito, yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi, dan selanjutnya menjadi pimpinan Keraton Yogyakarta bergelar Sri Sultan HB X, merupakan hasil musyawarah internal para rayi dalem. Yang terdiri dari, adik-adik kandung, sedherek dalem (adik lain ibu), dan sentana dalem (paman, bibi, dan sepupu). Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjukan langsung. "Jadi tidak ada alasan, hargai demokrasi ala Jogjakarta, jangan dipaksakan yang lain," pungkas Joyokusumo. (dyn)
JAKARTA - Pihak keraton Jogjakarta meradang ketika seakan-akan ditempatkan di posisi pihak yang antidemokrasi, seiring keinginan pemerintah mengganti
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Pemerintah Dukung Partisipasi Indonesia di New York Fashion Week
- Tenaga Non-ASN Lolos Seleksi PPPK Kota Semarang Tak Seusai Kualifikasi, Waduh!
- Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Ajukan Praperadilan ke PN Jaksel, KPK: Kami Menghormati
- PERADI-SAI Serukan Salam Damai dan Persatuan ke Seluruh Advokat
- Wahai Honorer Lulus PPPK 2024, Senyum dong, Ini soal Gaji Perdana
- Kabar Gembira untuk Honorer Tua Gagal PPPK 2024 Tahap 1