Harta Calon Rp 8,9 M, Ikut Pilkada Bisa Habis Rp 100 M
Dia mencontohkan Dadang S. Mochtar, mantan Bupati Karawang yang pernah menyatakan biaya politik di Jawa paling tinggi mencapai Rp 100 miliar untuk menjadi bupati. Padahal, mayoritas calon rata-rata hanya memiliki harta Rp 8,9 miliar.
Kesenjangan itu memunculkan celah bagi calon kepala daerah mencari dana pemenangan pilkada dari “sponsor”.
Bagi calon petahana, biasanya mencari pemasukan tambahan dengan cara “memeras” rekanan proyek dan pejabat pemerintah daerah (pemda).
”Tambahan dana pilkada juga diduga berasal dari penggunaan dana hibah, bansos dan PBJ (pengadaan barang/jasa),” jelasnya.
Selama ini, pengawasan terhadap proses pilkada sudah dilakukan. Baik, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPU maupun Bawaslu.
Namun, praktik itu tetap saja masih terjadi. Bahkan, kondisinya semakin parah seiring belum adanya sistem pencegahan terjadinya politik uang tersebut.
”Selama ini lingkarannya begitu-begitu saja, tidak berubah,” jelasnya.
KPK sendiri sudah melakukan berbagai cara untuk mencegah prakti tersebut. Misal, berkomunikasi dengan sejumlah partai politik (parpol) terkait dengan transparansi keuangan parpol.
Praktik politik uang berpotensi terjadi pada pelaksanaan pilkada serentak di 171 daerah yang akan digelar 2018 mendatang.
- Tim Hukum Paslon Aurama Laporkan Belasan Komisioner Bawaslu di Sulsel ke DKPP
- APMP Minta Bawaslu RI Tegas soal Dugaan Kecurangan di Pilkada Mimika
- Bawaslu Tegaskan Tak Ada Pelanggaran yang Dilakukan Aparat Kepolisian di Pilkada 2024
- Anggota Bawaslu Lolly Suhenty: Pilkada Berjalan Baik, Terima Kasih Media!
- Ini Penjelasan Wamendagri soal Pilkada Serentak 2024
- Ketua KPPS Coblos Surat Suara Pram-Rano, Bivitri: Pasti Ada Instruksi