Hasil Riset BS Center Menyatakan Fundamental Ekonomi Indonesia Sedang Rapuh.

Hasil Riset BS Center Menyatakan Fundamental Ekonomi Indonesia Sedang Rapuh.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo saat menghadiri diskusi BS Center. Foto: Humas MPR RI.

Didin menerangkan, walaupun pemerintah sering mengatakan fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dalam menangani pandemi Covid-19, namun kenyataannya tidak seperti itu. Beban utang pemerintah yang meningkat, kesulitan menyusun ulang APBN 2020 dan 2021, justru memperlihatkan fundamental ekonomi sedang rapuh.

Salah satu indikator mengukur risiko utang adalah dengan rasio debt service (DSR) terhadap penerimaan pada 2019 yang mencapai 38,31 persen, sedikit turun dari 2018 yang sebesar 39,06 persen. Jika APBN 2020 menurut Perpres 72/2020 bisa sesuai target, maka rasio tersebut bisa lebih dari 45 persen.

"Padahal batas atas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya sebesar 35 persen. Tren naiknya rasio ini mengindikasikan penerimaan negara tidak sebesar peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya," terangnya.

Didin menilai alasan pemerintah menambah belanja APBN 2021 masih bisa diterima. Namun semestinya ada langkah serius dalam mengurangi belanja lainnya yang tidak berkaitan langsung dengan mitigasi dampak pandemi Covid-19, dan upaya pemulihan ekonomi. Seperti belanja pegawai, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang.

"Dengan penghematan tersebut ruang fiskal untuk melakukan stimulus kesehatan, bantuan sosial dan UMKM dapat diperbesar sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia pada 2021," jelasnya.

Lebih jauh, Didin menekankan perlu adanya sanksi yang lebih tegas seperti pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap pemerintah daerah yang lambat melakukan revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Dengan demikian diharapkan siklus anggaran pada saat terjadinya resesi ekonomi bisa jauh lebih cepat dan berbeda dibandingkan siklus anggaran pada saat ekonomi dalam keadaan normal.

Mengingat sektor perpajakan dipastikan mengalami penurunan, BS Center mendorong pemerintah memikirkan sumber lain bagi pemasukan negara. Salah satunya dengan memperbaiki regulasi UU Lalu Lintas Devisa No.24 tahun 1999.

Perbaikan regulasi ini mendesak untuk segera dilakukan karena rezim devisa bebas masih memberi celah bagi pengusaha menyimpan uang hasil ekspor di luar negeri. Jika pemerintah mau mengeluarkan Perpu merevisi aturan UU Lalu Lintas Devisa, potensi dana di luar negeri yang dapat dimanfaatkan mencapai USD 150 miliar.

BS Center menyelesaikan riset dan kajian perdana bertajuk Vaksin Covid-19 dan Arah Pemulihan Ekonomi Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News