Hidup di KRI Banjarmasin dalam Pelayaran Menuju Milan

Hindari ke Kamar Mandi saat Ombak Tinggi

Hidup di KRI Banjarmasin dalam Pelayaran Menuju Milan
TETAP FIT: Selain menjaga kebugaran, olahraga bisa menjadi sarana efektif untuk mengusir kebosanan di kapal. Foto: Ilham Wancoko/Jawa Pos

Setelah lebih dari tiga pekan hidup di KRI Banjarmasin, kondisi makin ekstrem saat ombak tinggi. Ombak tinggi datang setelah KRI Banjarmasin bertolak dari Karachi, Pakistan, akhir Juni. Gelombang laut membuat kapal sepanjang 80 dan lebar 22 meter itu berguncang hebat. Dampaknya terasa saat mandi dan buang air.

Ketika mandi, tangan harus berpegangan pada besi pegangan di kamar mandi. Kalau tidak, bisa jatuh berguling-guling. Untuk buang air juga sama. Kalau mendapat toilet yang ada pegangannya, tentu lebih aman.

Tapi, kalau toilet tersebut penuh, tentu toilet yang tanpa pegangan terpaksa dipakai. Jadinya apes. Tangan harus direntangkan untuk menahan goyangan. Tangan kiri menempel tembok kayu pelapis kamar mandi dan tangan kanan menempel di tembok kapal. Setidaknya, posisi tubuh stabil.

Kalau guncangan sedang hebat, tubuh dan tempat buang air itu terasa seperti patah. Sakitnya bukan kepalang. ”Saya malas kalau ombak tinggi tapi harus ke belakang. Tangan sakit karena harus menahan guncangan,” ujar seorang ABK.

Bagaimana dengan makan? Sebelum puasa, jam makan ada tiga. Sarapan pukul 07.30, makan siang pukul 13.00, dan makan malam pukul 18.00. Namun, saking banyaknya orang yang dibawa KRI Banjarmasin, baik ABK, taruna, maupun sejumlah perwira Akademi Angkatan Laut (AAL), makanan menjadi sangat terbatas.

Satu orang hanya boleh makan satu lauk. Bila telat sedikit saja untuk makan, jangan berharap mendapatkan jatah. Semuanya tandas. Apalagi bila makan di ruang makan untuk bintara dan taruna. Bisa-bisa makanan harus berebut. ”Kalau telat makan 15 menit saja, ya ludes,” ujar seorang ABK.

Menu makan di kapal juga terbatas. Saat pagi, biasanya hanya ada lauk telur. Sayurnya sawi. Siangnya, ayam dan sawi. Sorenya ayam dan sayurnya sawi lagi.

”Memang kebanyakan sayurnya dari sawi. Sebab, sawi ini paling awet untuk disimpan. Di kapal kondisinya berbeda, tim dapur harus mencari bahan makanan yang awet,” tutur seorang ABK.

Puluhan hari hidup di kapal perang seperti KRI Banjarmasin menimbulkan banyak kenangan. Ada banyak keterbatasan, namun banyak juga pengalaman menyenangkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News