Hidup Kesusu
Oleh: Dahlan Iskan
Tidak ada HP, tidak ada laptop, tidak ada iPad. Pilihannya: ngobrol atau melamun. Sambil melihat pohon-pohon rindang di tepian sungai Mahakam. Ada juga yang sambil memancing: untuk lauk makan di perahu itu juga.
Zaman itu ikan patinnya masih alami. Besar-besar. Itulah ikan, yang menurut penduduk setempat, makan buah ngingas yang jatuh ke sungai.
Begitu banyak pohon ngingas yang rimbunnya bisa menaungi perahu di bawahnya. Buah ini tidak bisa dimakan manusia. Juga bisa membuat gatal yang luar biasa.
Patin-buah-ngingas seperti itu lezatnya tidak bisa ditemukan lagi sekarang. Hampir tidak terlihat lagi pohon ngingas.
Beda sekali dengan perjalanan saya kali ini. Pakai mobil. Harus buru-buru. Dikejar jadwal. Berangkat harus dini hari. Sore itu juga harus tiba kembali di Samarinda.
Habis makan sahur langsung berangkat. Sebelum waktu berbuka puasa harus sudah tiba kembali di Samarinda.
Hidup kini begitu tergesa-gesa. Begitu emosi. Begitu tidak alami. Hidup begitu menyiksa.
Untuk apa hidup seperti itu? Untuk apa?