Hijrah Tigray
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Tinggallah Ethiopia-baru yang terkurung: tidak punya laut. Tidak akan bisa punya pelabuhan. Terisolasi oleh bekas wilayahnya.
Seandainya empat wilayah itu tidak tercerai, mungkin Ethiopia lebih mudah bangkit. Bisa saja dia cepat jadi negara yang sangat penting: menguasai kawasan yang disebut "tanduk Afrika".
Enam negara besar sampai sekarang pun masih "menjajah" kawasan ini. Rebutan. Saling menempatkan armada perang di "mulut" Laut Merah itu.
Kalau saja empat wilayah itu tetap satu, kita lebih mudah mengingat masa lalu: Abessinia. Itulah yang dalam sejarah agama-agama disebut negara Abessinia.
Abessinia -saya masih hafal pelajaran di buku tarikh Islam- adalah negara Kristen. Rajanya dikenal sangat adil. Sang raja jadi pemimpin idola rakyatnya.
Nabi Muhammad pun sampai meminta umatnya yang masih sedikit untuk kabur ke Abessinia. Ke negara Kristen.
Kelak, di tahun Pilkada Jakarta, muncul banyak pidato: calon pemimpin itu tidak perlu dilihat agamanya. Yang penting bisa adil atau tidak. Bisa memakmurkan rakyatnya atau menyengsarakan.
Di negara Kristen itu, kata sejarah, mereka akan terbebas dari ancaman dan tekanan kaum Quraisy yang dominan di Makkah.