Hijrah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Hijrah
Ilustrasi, jemaah menunaikan salat saat pandemi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Musuh-musuh Muhammad di Makkah tidak membiarkannya membangun basis kekuatan politik di basisnya yang baru di Madinah.

Maka, satu tahun setelah Muhammad hijrah, koalisi besar suku-suku di Makkah berkumpul untuk melakukan serangan besar terhadap Madinah.

Koalisi itu berhasil mengumpulkan seribu tentara bersenjata lengkap, termasuk pasukan berkuda, dan pasukan pemanah.

Dalam tradisi perang di jazirah Arab seribu tentara adalah jumlah yang sangat besar, karena umumnya perang waktu itu terjadi antarsuku atau kabilah, dengan tentara puluhan saja.

Negara baru Madinah belum mempunyai tentara profesional untuk menghadapi serangan dari Makkah. Dengan persiapan cepat muslim mengumpulkan 300 orang untuk dilatih kilat menjadi milisi.

Persenjataan pasukan muslim sangat sederhana dibanding pasukan Makkah. Baju perang, yang dikenal sebagai zirah, adalah barang mewah yang belum terjangkau oleh kebanyakan tentara milisi. Pasukan berkuda dibangun dengan mengumpulkan donasi dari orang-orang kaya dari kalangan muslim Madinah.

Pasukan milisi muslim menyongsong pasukan Makkah di daerah Badar, di luar kota Madinah. Pertempuran tidak seimbang satu dibanding tiga tampaknya akan dengan mudah dimenangi oleh pasukan Makkah.

Muhammad saw mengatur strategi berdasarkan wahyu yang diterima dari Allah. Ia menguasai sumur-sumur yang menjadi perbekalan air yang sangat penting untuk menjamin ketersediaan logistik militer.

Umar bin Khattab yang menjadi khalifah ketika itu momentum hijrah sebagi titik tolak awal penanggalan Islam.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News