Hikmahanto: Klaim Kewilayahan RRC Jangan Dianggap Sekadar Peta
"Ketiga, pemerintah jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tutur Hikmahanto.
Dia mengungkapkan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu hanya sepihak yang didasari oleh faktor sejarah. Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan, yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Namun, Indonesia memperjuangkannya melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional, sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional, bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut).
"Berbeda dengan Indonesia, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspon dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, makin agresif karena banyak penduduk China yang membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas, dan lain-lain. Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat.
"Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna," tegasnya.
Senada dengan Hikmahanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga dosen Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., juga mengapreasiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC menerbitkan peta yang menerabas wilayah tersebut.
Menurut dia, ada beberapa interpretasi dari tindakan China. Pertama, tindakan menerbitkan peta. Kedua, analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal China, agar publik di sana melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka.
Pengamat hukum internasional UI, Profesor Hikmahanto Juwana menilai klaim kewilayahan Republik Rakyat China (RRC) jangan dianggap sekedar peta.
- Pakar Bahas Dampak Soft Power Tiongkok dalam Pendidikan dan Budaya di Indonesia
- Tekanan China Meningkat, Indonesia Diminta Perkuat Pertahanan di Natuna
- Modernisasi Militer China Jadi Tantangan bagi Indonesia dan Asia Tenggara
- Pakar Soroti Langkah China Layangkan Protes Keras ke Indonesia Buntut Kajian KADI Tidak Kredibel
- Negara-Negara ASEAN Diimbau Bersatu untuk Hadapi Aksi Agresif China
- Tiongkok Disebut Hadirkan Ancaman DeFacto di Laut China Selatan