Hikmahanto: Klaim Kewilayahan RRC Jangan Dianggap Sekadar Peta
"Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” ungkap Johanes.
Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh China sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang.
"Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun, dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia," tegasnya.
Oleh karenanya, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain, yang menjadi anggota ASEAN harus menjalin kerja sama untuk menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Johanes juga menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait, memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu. "Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” tuturnya. (jlo/jpnn)
Pengamat hukum internasional UI, Profesor Hikmahanto Juwana menilai klaim kewilayahan Republik Rakyat China (RRC) jangan dianggap sekedar peta.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh
- Pakar Bahas Dampak Soft Power Tiongkok dalam Pendidikan dan Budaya di Indonesia
- Tekanan China Meningkat, Indonesia Diminta Perkuat Pertahanan di Natuna
- Modernisasi Militer China Jadi Tantangan bagi Indonesia dan Asia Tenggara
- Pakar Soroti Langkah China Layangkan Protes Keras ke Indonesia Buntut Kajian KADI Tidak Kredibel
- Negara-Negara ASEAN Diimbau Bersatu untuk Hadapi Aksi Agresif China
- Tiongkok Disebut Hadirkan Ancaman DeFacto di Laut China Selatan