HNW Tolak RUU Cipta Kerja Karena Sanksi Pidananya Menyasar Pesantren
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA kembali mengkritik RUU Omnibus law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), dan menolak sejumlah sanksi pidana RUU Ciptaker yang dapat berpotensi mengkriminalisasi penyelenggara pendidikan Pesantren, baik dari jalur formal maupun non formal, baik Pesantren tradisional maupun modern.
“Ada beberapa ketentuan dalam RUU Omnibus law Cipta Kerja yang harus diwaspadai bersama agar tidak justru kontraproduktif, dan bahkan bisa mempidana para Kiyai atau Ustadz yang menyelenggarakan pendidikan via Pesantren baik modern maupun tradisional, karena hanya persoalan perizinan yang belum beres,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (1/9).
HNW sapaan akrabnya menyebut beberapa ketentuan yang bermasalah dalam Klaster Pendidikan di Omnibus Law Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pasal 51 ayat (1), Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1).
Ketentuan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal (termasuk karenanya pendidikan keagamaan seperti Pesantren) yang didirikan oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan dan wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Apabila, satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa Perizinan Berusaha, maka penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 miliar rupiah.
HNW menilai ketentuan umum seperti ini potensial sangat berbahaya dan perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri, yakni UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sangsi administratif. “Jadi RUU Ciptaker ini tak sesuai dg ketentuan dalam UU Pesantren,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan kritik perlu disampaikan agar jangan sampai ketentuan pemberian sanksi pidana untuk Pesantren seperti bisa dipahami dari RUU Ciptaker ini justru menghambat pendidikan di Pesantren, yang khas Indonesia, yang jumlahnya lebih 28.000 lembaga, yang sebagiannya malah sudah berdiri sebelum Indonesia Merdeka dan berjasa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang di beberapa daerah didirikan secara non formal dan sepenuhnya swadaya Masyarakat atau para Kiyai.
“Oleh karenanya, ada beberapa yang didirkan tanpa mengurus perizinan secara lengkap karena memang sejak zaman Indonesia Merdeka tidak pernah ada aturan yang mewajibkan perizinan dan sanksi pidana bila tidak penuhi aturan pendirian,” tuturnya.
Lebih lanjut, HNW mengapresiasi langkah Kementerian Agama yang memberikan klarifikasi dan mengeluarkan siaran pers untuk menjelaskan sanksi pidana terhadap penyelenggara satuan pendidikan dalam Omnibus Law RUU Ciptaker tersebut tidak berlaku untuk Pesantren karena telah hadir Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
HNW kembali mengkritik RUU Omnibus law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), dan menolak sejumlah sanksi pidana RUU Ciptaker yang dapat berpotensi mengkriminalisasi penyelenggara pendidikan Pesantren,
- Wakil Ketua MPR: Kualitas Pendidikan Harus jadi Perhatian Semua Pihak
- Prabowo Selamatkan Sritex, Eddy Soerparno: Ini Bentuk Nyata Presiden
- Pejabat Komdigi Lindungi Judol, Eddy Soeparno: Merusak Generasi Muda
- Ibas Soroti Isu Kekerasan Seksual: KIta Harus Speak Up, Waspada, dan Berani Melapor
- Lestari Moerdijat: Keberlangsungan Industri Media Butuh Dukungan Negara
- Ibas Demokrat Ajak Anak Muda Jangan Suka Flexing, Jadilah Kreatif dan Produktif