Hukum dan Etika Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Oleh: Davianus Hartoni Edy - Praktisi hukum dan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Perdagangan Internasional Universitas Indonesia
Artinya, pandangan hakim MK yang menolak fakta adanya pelanggaran hukum dalam proses Pemilu 2024. Sebab lingkup pelanggaran yang terjadi adalah pada wilayah etis dan hal tersebut belum diatur dalam hukum positif, merupakan pandangan yang mendistorsi makna hukum dinamis yang bertujuan menjamin sebuah kesepakatan untuk bersikap adil dan benar.
Jadi, secara empiris maupun teoritis, tidak mungkin memisahkan nilai- nilai moral dari hukum yang berlaku; jika pun terjadi perbedaan pandangan tentang moral hukum yang dianggap paling dapat disepakati bersama, maka hal itu juga akan menghasilkan kesepakatan moral baru yang memiliki kausalitas terhadap produk hukum sebelumnya.
Dengan demikian polemik tersebut pada saatnya akan membentuk kesatuan pemikiran tentang suatu keberlakuan hukum untuk menyikapi kekosongan hukum (rechtvacuum) yang terjadi, sehingga judges seharusnya bukan menolak eksistensi etika yang jelas-jelas memiliki kausalitas terhadap sebuah peristiwa hukum.
Etika Dalam Undang-Undang Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sangat minim memuat kata ‘etika’.
Kata etika hanya digunakan pada Pasal 159 angka (3) huruf (b), yang mengatur tentang wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu.
Penggunaan diktum etika yang hanya digunakan dalam wewenang DKPP bukan menunjukkan bahwa UU tersebut tidak mengatur tentang aspek etis pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam Pemilu tetapi sebaliknya menyiratkan keyakinan bahwa nilai-nilai moral sudah dikomposisikan dalam proses perumusan kaidah-kaidah pemilu tersebut.
Herbert Lionel Adolphus Hart, seorang tokoh positivis yang mengenalkan the concept of law, memaparkan sebuah postulat bahwa dalam perspektif hukum, nilai-nilai moral tidak hanya menghendaki niat, maksud, atau motif-motif yang baik, tetapi faktanya telah mencampuradukkan antara ide-ide permakluman (excuse) dan ide-ide pembenaran (justification) atas tindakan.
Sengketa pemungutan suara nasional kali ini telah membuka pemahaman baru tentang hukum dan etika yang maknanya diperdebatkan dalam proses putusan MK.
- Tokoh Adat Sarmi Tegaskan Gugatan ke MK Hak Konstitusional Bukan Provokasi
- Selisih Suara Tinggi, MK Tetap Berpeluang Analisis Gugatan Risma-Gus Hans
- Ridwan Kamil Ungkap Alasan Batal Mengajukan Gugatan ke MK, Ternyata..
- Bawaslu Babel Siap Dipanggil Mahkamah Konstitusi
- 3 Paslon Kada Gugat Hasil Pilgub Maluku Utara ke MK
- Muhammad Sarif-Moch Noer Gugat Hasil Pilkada ke MK dan Adukan KPU ke DKPP