Hukum dan Etika Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Oleh: Davianus Hartoni Edy - Praktisi hukum dan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Perdagangan Internasional Universitas Indonesia

Hukum dan Etika Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Praktisi hukum dan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Perdagangan Internasional Universitas Indonesia Davianus Hartoni Edy. Foto: Dokumentasi pribadi

Aspek etis yang menjadi tema pelanggaran pun tidak luput menyisakan catatan bagi perbaikan legislasi nasional khususnya yang mengatur tentang demokrasi dan memberikan wadah bagi kedaulatan rakyat.

Berbagai pihak menilai bahwa beberapa celah substansial dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilihan Umum merupakan biang keladi terjadinya sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi yang baru saja berakhir.

Salah satu pasal yang menurut penulis relevan dengan pendapat di atas adalah Pasal 473 angka (2) dan (3) yang menerangkan bahwa baik perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pemahaman terbalik atas frasa ‘memengaruhi perselisihan…’ di atas adalah jika gugatan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu tersebut bobotnya dianggap tidak cukup memengaruhi kuota perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maka dapat dipastikan bahwa permohonan pihak pemohon akan ditolak.

Kondisi seperti ini memunculkan opsi bagi peserta pemilu untuk melakukan kecurangan yang sekiranya secara kumulatif akan menghasilkan perolehan suara yang sedemikian signifikan sehingga peluang untuk digugat di Mahkamah Konstitusi akan semakin kecil.

Selain sorotan terhadap kualitas regulasi yang menyebabkan distorsi keadilan, kepastian dan kemanfaatan UU Pemilu yang berpotensi timbul dari penerapan Pasal 473 angka (2) dan (3), dalam praktiknya pasal ini pun menjadi kontraproduktif terhadap Pasal 372 ayat (2) yang memperbolehkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan kondisi-kondisi tertentu, sementara di sisi yang lain sebenarnya PSU tersebut tidak ‘memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Kontraproduktifnya kedua pasal dalam UU Pemilu ini tidak saja menimbulkan beban tambahan bagi APBN tetapi juga mendeskripsikan tentang ketidakefektifan sistem hukum yang menggerus nilai-nilai demokrasi dan berpotensi menciptakan chaos.

Hukum dan etika adalah dua hal yang berbeda namun simultan dalam penerapan. Hukum tanpa etika akan menghasilkan kekuasaan tanpa batas oleh rezim kekuasaan yang otoriter.

Sengketa pemungutan suara nasional kali ini telah membuka pemahaman baru tentang hukum dan etika yang maknanya diperdebatkan dalam proses putusan MK.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News