Humphrey: Keputusan KPU Mengundang Perdebatan Liar di Masyarakat
jpnn.com, JAKARTA - Sikap Mahkamah Agung yang telah membatalkan Pasal 3 (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolahan Kursi dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum (Peraturan KPU RI) karena dinilai telah bertentangan dengan Pasal 416 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) melalui Putusan Uji Materil No. 44 P/HUM/2019, telah menimbulkan perdebatan serta pertanyaan di masyarakat.
Ketua Partai Persatuan Pembangunan Muktamar Jakarta, Dr. Humphrey R. Djemat mengatakan pertanyaannya sudah bukan lagi tentang apakah putusan uji materiil tersebut berdampak terhadap hasil pemilihan umum yang lalu (khususnya terkait posisi Jokowi – Maruf Amin yang sudah ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih dengan menggunakan ketentuan yang dibatalkan tersebut dan bahkan sudah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2020).
Karena jelas, kata Humphrey, bahwa demi hukum putusan uji materil ini tidak berdampak apapun terhadap peristiwa yang terjadi sebelum putusan uji materil ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 28 Oktober 2019 sehubungan dengan tidak dikenalnya Asas Non-Retroaktif dalam hukum Indonesia yang pada pokoknya melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.
“Namun, yang perlu dikaji serta dipertanyakan adalah mengapa KPU RI selaku Lembaga Negara yang memiliki peranan begitu penting dalam ruang lingkup nasional, dapat membuat suatu aturan yang jelas-jelas atau setidaknya berpotensi untuk bertentangan dengan peraturan-peraturan di atasnya, dalam hal ini adalah UU Pemilu dan bahkan UUD 1945,” kata Humphrey dalam keterangan persnya, Rabu (8/7/2020).
Menurut Humphrey, tindakan KPU RI tersebut telah mengundang suatu perdebatan liar di dalam masyarakat karena adanya potensi pertanyaan-pertanyaan yang timbul.
Hal ini tentunya hanya dapat dijawab oleh KPU RI sendiri seperti antara lain apa latar belakang dan alasan KPU RI ketika membuat aturan tersebut.
Selain itu, mengapa KPU RI terlihat seperti ingin menyederhanakan suatu proses penetapan Pasangan Calon Terpilih yang telah diatur dalam peraturan di atasnya. Yaitu dengan menghilangkan ketentuan di UU Pemilu dan UUD 1945, yang mewajibkan pasangan calon harus memenangi di lebih dari setengah jumlah seluruh provinsi Indonesia, dengan masing-masing kemenangan lebih dari 20 persen.
“Apakah KPU RI sebenarnya sudah memiliki prediksi akan adanya kesulitan bagi pasangan calon tertentu jika syarat tersebut di atas tetap diberlakukan sehingga memutuskan untuk meniadakan syarat tersebut demi memudahkan pasangan calon tersebut untuk nantinya dapat mememenangi pemilihan presiden?,” tanya Humphrey.
Dengan kejadian dibatalkannya suatu aturan yang dibuat oleh KPU RI oleh Mahkamah Agung RI, tentunya hal ini harus menjadi tamparan keras dan pelajaran bagi KPU RI untuk segera memperbaiki kinerjanya.
- Usut Kasus Mafia Hukum, KPK Panggil Youla Lariwa
- Zarof Ricar Belum Menyerahkan Uang ke Majelis Kasasi Ronald Tannur, Tetapi 1 Hakim Pernah Ditemui
- KPK Apresiasi MA Menolak Kasasi Stefanus Roy Rening
- Tok, MA Sunat Hukuman Mardani Maming
- Gandeng PPATK, Kejagung Telusuri Transaksi Aset Eks Pejabat MA Zarof Ricar
- MA Tolak Kasasi dari Jaksa, Aktivis Lingkungan Ini Bebas, Merdeka