Ibukota Tak Perlu Hijrah

Ibukota Tak Perlu Hijrah
Ibukota Tak Perlu Hijrah

Gejala ini makin parah ketika kaum kapitalis mencuri peluang saat Presiden Soekarno memerintahkan pembangunan Gelora Bung Karno menyongsong Asian Games pada 1962.

Ternyata niat baik Bung Karno telah disalahgunakan. Pembebasan tanah yang sangat luas di Jalan Thamrin, Sudirman dan Gatot Subroto, sudah di luar kebutuhan Asian Games. Berdirilah berbagai hotel dan perkantoran di kawasan Segi Tiga Emas Jakarta. Pembangunan gedung yang run off air itu semakin merajalela, setelah UU Penanaman Modal Asing disahkan pada 1967 lalu. Jalan tol, apartemen, mal, plaza, Carrefour dan sebagainya, menyulap tanah menjadi hamparan beton yang kedap air.

Sebagai pusat pemerintahan dan politik, Jakarta penuh dengan "gula" yang memancing "semut". Yakni, sebagai pusat perekonomian, pendidikan, budaya, dan pusat pertumbuhan dan perputaran uang terbesar. Tetapi sekaligus melahirkan ekses sebagai pusat kemacetan lalu lintas, pedagang asongan, gelandangan dan sebagainya. "Gula-gula" yang menumpuk di Jakarta membuat arus urbanisasi mengalir deras sukar dibendung.

Tanpa harus mengubah Jakarta sebagai ibukota republik, fungsinya sebagai pusat "gula-gula" bisa diubah dengan memindahkannya ke luar kota, seperti dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya di Malaysia, atau dari Sydney ke Canberra di Australia. Termasuk juga  pemindahan Pelabuhan Tanjung Priok dan zona industri yang ada dan sudah overload, katakanlah ke Banten.

ADA apa denganmu, Jakarta? "Kemacetan lalu lintas," kata seseorang. "Banjir di musim hujan," kata yang lain. "Karena itu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News