Ibunda Bagai Salak Berduri
Jumat, 31 Juli 2009 – 15:01 WIB
SANG ibunda itu luar biasa. Apapun putusan yang diambil Mahkamah Agung (MA) dan DPR, tetapi jika bertentangan dengan konstitusi, maka palu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “pengawal” UUD 1945 akan membatalkannya dan mengembalikannya ke pangkuan “ibunda” segala UU, hukum dan regulasi di republik tersayang ini. Tiba-tiba kita ingat Jimly Asshiddieqie, mantan ketua MK itu. Semenjak era Jimly hingga ke Mahfud MD. Banyak pertikaian konstitusional telah diselesaikan lembaga ini. Padahal, system pemilihan langsung mengharuskan one man, one vote, serta one value. Jika asas ini dilanggar, betapa hak politik pemilih telah direduksi dan dilenyapkan. Kontroversinya, parpol besar naik jumlah kursinya, partai menengah makin terpuruk. Tak hanya di DPR, tetapi juga di DPRD provinsi, kabupaten dan kota.
Kali ini sang “ibunda” kembali diuji dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan penghitungan tahap kedua dan menyebabkan ketimpangan (disproporsionalitas) yang dahsyat. Ibarat bangunan yang sudah jadi harus diruntuhkan, padahal bangunan politik yang dibangun bukanlah “istana pasir.”
Baca Juga:
Dengan ketukan palu MA itu akan terjadilah malproporsionalitas, yakni tercederainya sistem proporsional. Mestinya raihan kursi saban parpol harus seimbang dengan capaian suaranya. Sebuah parpol, misalkan membetot 3,77% suara tetapi kok meraih kursi cuma 0,89 persen di DPR? Ada pula partai dengan suara 4,46 persen, tapi hanya kebagian 1,43 persen kursi.
Baca Juga: