Ibunda Bagai Salak Berduri
Jumat, 31 Juli 2009 – 15:01 WIB
Meskipun putusan itu sempat menimbulkan ekses di kalangan aktifis feminis, bahkan juga “persaingan” antarcalon anggota legislatif yang separtaipolitik sekalipun, tetapi akhirnya berlalu dengan mulus. Ekses-ekses itu mestilah dipahami bahwa ternyata banyak di antara kita yang belum bisa menerima sesuatu yang demokratis dan reformis karena terbiasa dengan “demokrasi ala Orde Baru.”
Bahwa kemudian putusan MK itu telah merombak sekitar 70-80% wajah lama di DPR dan DPRD dengan penampilan wajah baru, bukanlah merupakan kesalahan putusan MK itu. Boleh jadi karena tradisi lama, bahwa jika sudah di urutan nomor basah sudah pasti terpilih, sehingga para calon kurang bersosialisasi dengan konstituen dan ikhtiar individual pun merosot. Mental politik yang demikian itu yang kemudian “ditebas” oleh MK.
Barangkali, pendidikan poltik rakyat pemilih juga belum memadai, mungkin saja karena faktor sosial ekonomi, sehingga terdorong memilih calon yang rajin berkunjung, yang menebar bantuan ini itu, atau tergoda karena populeritas calon dari kalangan selebritis.
Tradisi politikus dan rakyat pemilih di masa demokratisasi dan reformasi yang masih transisional itulah, yang dikoreksi oleh putusan MK tersebut. Putusan MK yang konstitusional itu terkesan berlari lebih cepat dibanding kultur politik para elit dan rakyat yang masih terpengaruh residu Orde Baru. Putusan MK itu merangsang elit dan masyarakat untuk melakukan ekselarasi budaya politik sehingga relevan dengan tuntutan konstitusi, yang selama ini diabaikan.