IKADIN Kaji Penerapan Surat Paksa dalam Penagihan Piutang Negara
Dia menilai pemerintah sering bertindak sebagai pihak dalam perjanjian perdata, tetapi menggunakan instrumen hukum publik.
"Dalam hukum perdata, pemerintah sekalipun harus diperlakukan setara dengan pihak-pihak lainnya, jika tidak, ini akan menimbulkan ketidakadilan," ujarnya.
Di sisi lain, Eko Riyadi, S.H., M.H., Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), menekankan bahwa penggunaan surat paksa bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Menurutnya, penagihan piutang negara dengan surat paksa tidak bisa dibenarkan hanya karena alasan efisiensi dan efektivitas.
"Ini bukan solusi yang proporsional karena masalahnya lebih dekat dengan hukum perdata," tegasnya.
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Alfeus Jebabun, S.H., M.H., juga menyoroti potensi penyalahgunaan surat paksa dalam penagihan piutang negara.
Menurutnya, instrumen ini bisa menjadi alat politik untuk memaksa pelunasan utang tanpa melalui proses hukum yang adil.
"Surat paksa sering digunakan sebagai ancaman untuk menekan pihak yang diklaim sebagai debitur," tambahnya. (jlo/jpnn)
IKADIN mengkaji penerapan surat paksa dalam penagihan piutang negara yang dinilai memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh
- Tarif PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai Tahun Depan, Ini Saran Pengamat untuk Pemerintah
- Waspada Efek Luar Biasa dari Kenaikan PPN 12 Persen
- PPN 12 Persen Tidak Berpihak kepada Rakyat, Tolong Dibatalkan
- Sri Mulyani Keukeuh PPN Naik jadi 12 Persen pada 2025, Siap-Siap ya Rakyat!
- Perkuat Kolaborasi, Kemendagri Tekankan Pentingnya Sinergi Daerah untuk Kelola Opsen Pajak
- Program Pemutihan PKB di Banten Sukses Tingkatkan Penerimaan Pajak Rp 64,3 Miliar