Ikut Cucu
Oleh: Dahlan Iskan
jpnn.com - SAYA melarang istri untuk ikut para cucu. Mereka masih belasan tahun. Kuat-kuatnya jalan.
Mereka bukan para cucu yang manja –mereka tahu cara berhemat. Ke mana-mana mereka pilih naik kereta bawah tanah yang sangat murah –di Beijing ini.
"Kapan lagi kumpul cucu," kata istri. Saya tahu diri: tidak lagi harus sibuk sepanjang tahun dan sepanjang umur.
Namun, saya benar-benar khawatir akan lututnyi: baru sebelah yang diganti dengan lutut made in Germany oleh dr Dwikora di Surabaya. Sebelahnya lagi masih sering sakit.
Saya sudah sering merayu habis-habisan: agar yang kiri juga dioperasi. Masih belum mau. Pilih terpincang sedikit daripada operasi. Padahal, acara enam cucu ini banyak sekali. Jauh-jauh.
Saya ingat perjalanan ke Beijing dengan istri 10 tahun lalu. Saya ajak dia masuk Forbidden City. Istana Terlarang. Di sebelah Tian An Men itu. Perlu jalan kaki yang begitu jauh –antrenya saja hampir satu jam.
Keluar dari Istana Terlarang istri saya minta istirahat. Dia mengeluh. Lututnyi sakit. Tidak ada tempat duduk. Dia duduk begitu saja di trotoar Chang An Jie. Tidak kuat lagi melangkah.
Tidak ada angkutan umum di sekitar itu. Dilarang. Kami harus berjalan ke arah Wang Fu Jing. Masih setengah kilometer lagi. Sebentar-sebentar dia minta berhenti. Duduk di trotoar. Sepuluh langkah duduk lagi.