'Indonesia First’ demi RI yang Berdikari di Tengah Gejolak Dunia

Oleh Irman Gusman*

'Indonesia First’ demi RI yang Berdikari di Tengah Gejolak Dunia
Irman Gusman. Foto/Arsip: Ricardo/JPNN.com

Kita lihat Malaysia yang mengembangkan penguatan pasar dalam negeri dengan membentuk Kementerian Perdagangan Dalam Negeri pada 1990.

Tujuannya, antara lain, membenahi rantai pasok perdagangan dalam negeri dan memangkas biaya logistik sehingga barang-barang kebutuhan sehari-hari bisa menjadi lebih murah dari sebelumnya, bahkan lebih murah dari harga-harga barang di Indonesia saat ini.

Lihat juga Australia. Pada 1987, Australia membentuk Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan sehingga para diplomatnya bertugas membuka pasar luar negeri untuk berbagai produk dari Negeri Kanguru itu.

Gareth Evans selaku Menlu Australia saat itu aktif berkunjung ke berbagai negara tidak hanya untuk urusan diplomasi, tetapi juga secara aktif mempromosikan dan membuka pasar untuk barang-barang produksi dalam negerinya. Strategi itu kini dilanjutkan oleh Menlu Australia Penny Wong.

Sebetulnya sejak dahulu Indonesia sudah mempunyai kebijakan untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri dan memperbesar serapan pasar untuk berbagai barang produksi kita sendiri. Namun, masalahnya ialah kita gagal meneruskan strategi tersebut.

Sebab, the devil is in the details. Bahkan, kata Jacob Oetama (alm), "Orang Indonesia itu kalau sudah membuat rencana, disangkanya bahwa rencana itu sudah tercapai".

Untuk meningkatkan kualitas dan membenahi rantai pasok produk-produk dalam negeri, mengurangi biaya logistik, serta memperluas pasar produk ekspor, kita dapat menamakan Kementerian Perdagangan sebagai Kementerian Perdagangan Dalam Negeri -dalam rangka Indonesia First- dan memperluas lingkup tugas Kementerian Luar Negeri menjadi Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Internasional.

Dengan demikian maka jumlah penduduk yang hampir mencapai 300 juta jiwa itu berkembang menjadi pasar yang kuat dan mampu bertahan terhadap guncangan eksternal.

Pada saat bersamaan, pembenahan rantai pasok dan pengurangan biaya logistik akan meningkatkan daya saing berbagai produk dalam negeri untuk bersaing di pasar dunia, apalagi jika para diplomat kita menjadi entrepreneurial diplomats.

Berdikari secara ekonomi berarti kembali memprioritaskan implementasi Pasal 33 konstitusi agar perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, bukan hanya untuk menciptakan kemakmuran bagi kelompok terkecil masyarakat dan stagnasi bagi mayoritas penduduk di lapisan bawah piramida sosial-ekonomi, seperti yang kini terjadi.

Hal itu membutuhkan pemberdayaan koperasi dan UMKM yang jumlahnya sekitar 65 juta unit dan yang berkontribusi besar baik terhadap PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Keberpihakan dimaksud harus bisa menjadikan UMKM dan koperasi sebagai unit-unit usaha yang mandiri, bankable dan berskala besar, agar dapat bertahan di tengah pasar bebas dunia.

Diperlukan banyak entrepreneur yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi semua produk yang bersaing di pasar bebas dunia.

Pendidikan kewirausahaan perlu diperluas ke semua sekolah dan perguruan tinggi untuk menghasilkan banyak entreprenur yang mampu menciptakan nilai tambah, agar kita tidak menjadi negara birokrasi saja, sebab rakyat pun perlu dilatih menjadi entrepreneur agar bisa mandiri di tengah tekanan persaingan dunia.

Indonesia menempati peringkat ke-75 dalam Global Entrepreneurship Index (GEI). Artinya, kita masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Rasio kewirausahaan Indonesia masih rendah, sekitar 3,18 persen hingga 3,47 persen. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio tersebut menjadi 4 persen pada tahun 2024-2025 sebagai syarat untuk menjadi negara maju.

Barang-barang kebutuhan sehari-hari pun makin mahal di pasar dalam negeri karena supply chain tidak dikelola dengan baik, sementara biaya logistik masih tinggi (14,29 persen dari PDB), jauh di atas biaya logistik negara-negara maju yang hanya 8-10 persen.

Dibutuhkan juga peningkatan kualitas produk dalam negeri, baik melalui hilirisasi, maupun riset industri untuk meningkatkan keunggulan produk, agar menghasilkan banyak paten dalam negeri sendiri.

Dalam hal paten, kita masih jauh tertinggal dibanding negara-negara middle-income lainnya. Data terakhir menunjukkan bahwa kita baru memiliki 9.970 paten per 2023, dan pada 2024 meningkat 5,9 persen, sementara 4.500 lainnya masih diusulkan ke dalam sistem Patent Cooperation Treaty di bawah World Intellectual Property Organization (WIPO).

Irman Gusman menyampaikan opini soal langkah Donald Trump yang mengguncang dunia dengan kebijakannya tentang tarif masuk barang impor.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News