Ingat Anas, Shangrila dan Lijiang
Oleh Dahlan Iskan
Melihat saya turun, mereka langsung menyapa. “Ni hao,” kata mereka hampir serentak. Lantas menyilakan saya duduk. Untuk ikut ngrumpi. Sambil makan kuaci.
Saya dibikinkan teh. Tekonya ada di meja. Satu set dengan pemasak air. Kulit kuaci terus dilempar. Tuangan teh terus mengalir.
Saya yang banyak bertanya. Tentang home stay itu. Mereka bertanya hal-hal yang sederhana: apa bahasa di negara saya dan mengapa saya bisa berbahasa mandarin.
Obrolan pindah ke soal uang. Di Indonesia menggunakan uang apa.
Saya mengeluarkan tiga lembar rupiah. Dari dalam dompet. Yang 10.000-an.
“Wow,” ucap wanita itu terbelalak. Sambil dua telapak tangannya menutup muka. “Sepuluh ribu dolar,” teriaknya. Sambil menatap saya. Mengira saya orang kaya.
Di Tiongkok lembaran terbesar adalah 100. Melihat nol empat matanya hijau.
Saya kasihkan uang itu. Satu orang satu lembar. Mereka ramai-ramai menolak. “Tidak mau. Ini banyak sekali,” katanya.