Ingat Ayah di Senam Puasa
Oleh Dahlan Iskan
Kekebalan tubuh saya memang diturunkan. Secara sengaja. Agar hati baru saya bisa tetap kerasan di tubuh saya. Menggantikan hati lama yang penuh kanker 10 tahun lalu. Saya harus jaga kesehatan melebihi orang normal.
Tidak takut batal puasa? Karena kehausan? Karena kelelahan?
Saya punya obatnya. Sangat manjur. Namanya: Moh. Iskan. Ayah saya. Almarhum.
Bayangan masa kecil tentang ayah terus hidup sampai saya tua. Di bulan puasa pun ayah pergi ke sawah. Mencangkul. Selama empat jam. Biarpun panas sudah terik. Menembus punggung hitam yang tanpa baju. Yang memperlihatkan tulang-tulangnya yang menonjol.
Sesekali ayah menegakkan punggungnya. Agar tidak pegal-pegal. Sesekali juga ayah membasahi celana kombor hitamnya yang sampai bawah lutut itu.
Dengan air lumpur di sela-sela cangkulnya. Agar badan terasa lebih dingin. Sesekali lainnya ayah tampak mengencangkan kolornya. Agar celana kombornya tetap menempel di perutnya yang kian siang kian tipis.
Sebelum puasa saya sering mengirim singkong rebus ke sawah untuk sarapannya. Dalam bulan puasa tidak ada lagi sarapan.
Saya mendampingi dari jauh. Sambil membuat mainan. Membuat wayang dari tangkai bunga rumput. Lalu memainkannya dengan iringan gamelan dari mulut sendiri.