Ingat Ayah Dibantai, Menangis di Komnas HAM
SABURAN tak mampu menahan derai airmata yang menetes membasahi pipi. Pria 29 tahun in, terus mengusap-usapkan punggung tangan kanannya, mencoba menghapus derai air mata, sembari menahan sesunggukan yang sulit berhenti.
-------------
Ken Girsang-Jakarta
-------------
Kepedihan begitu jelas tergambar, saat mengingat kembali peristiwa pembantaian yang dialami ayah tercinta almarhum Dolah Adat bersama 2 abang kandung dan 13 sepupu laki-lakinya, di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan, 17 Mei 2003 lalu.
“Itu pembunuhan yang benar-benar keji Mas. Mereka tidak hanya disiksa, tapi dimasukkan ke dalam rumah dan dibakar hidup-hidup. Jumlahnya ada 12 orang yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah yang dibakar. Sementara 4 orang lainnya ditembak,” katanya di sela-sela aksi unjukrasa di depan Ruang Asmara Nababan, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Jalan Latuharhari, Jakarta, Senin (8/12) petang.
Menurut Saburan, kekejian yang dialami ayah dan saudara laki-lakinya, terjadi bermula setelah sebelumnya sekitar Pukul 7 pagi, ratusan pasukan diduga berseragam militer mendatangi desa tempat kelahirannya, dengan memaksa seluruh warga keluar dari rumah masing-masing dengan dikumpulkan di suatu tempat.
“Semua laki-laki dikumpulkan satu tempat. Sementara perempuan dan anak-anak berusia sekolah di kumpulkan di tempat yang lain. Setelah disiksa, yang laki-laki dihadapkan ke belakang. 12 orang kemudian dimasukkan ke dalam rumah. Rumah tersebut kemudian dibakar. Sementara 4 orang lainnya ditembak mati. Saya kebetulan waktu itu tinggal di kota Kecamatan, sehingga luput dari aksi biadab itu. Tapi tidak dengan ayah dan abang-abang saya,” katanya.
Tidak hanya Saburan, kepedihan yang cukup mendalam juga sangat dirasakan keluarga korban lainnya, Tgk Bachtiar. Meski pada awalnya ia terlihat begitu terlihat tegar, namun begitu mengenang apa yang dialami sang ayah tercinta, derai air mata mengucur deras.
Bahkan sampai-sampai sejumlah korban kekerasan Aceh lainnya berusaha merangkul Bachtiar, ikut merasakan kepedihan yang dialami.
“Ayah saya juga dikorbankan. Saya merasa ayah tidak bersalah. Peristiwa itu terjadi saat beliau pulang dari Masjid dengan menggunakan sarung. Saat itu beliau berpapasan dengan sekelompok pasukan berseragam. Ayah saya memberi salam, tapi tidak ditanggapi. Enggak berapa lama, mereka malah menanyai di mana kelompok GAM bersembunyi. Ayah sudah bilang tidak tahu, tapi malah dituduh kasih makan GAM. Saat itu darurat militer di Aceh,” katanya.
Ayahnya kata Bachtiar, kemudian dibawa pulang. Tapi bukannya dilepas, malah hanya disuruh ganti sarung dengan celana. Kemudian dibawa entah kemana hingga berbulan-bulan.
SABURAN tak mampu menahan derai airmata yang menetes membasahi pipi. Pria 29 tahun in, terus mengusap-usapkan punggung tangan kanannya, mencoba
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara