Ingatan Pulih lewat 'Metode Keroncong', Waldjinah Ingin Kembali Bernyanyi
Langganan Istana kecuali di Era Megawati
Jumat, 26 Oktober 2012 – 00:26 WIB
Berawal dari camilan, Waldjinah harus dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari dan sempat kehilangan ingatan. Impian tunggalnya di musik kini adalah berduet dengan Edo Kondologit untuk menyatukan Indonesia Barat dan Timur. Panji Dwi Anggara, Solo
"Ya, seperti ini kondisi saya. Kadang air mata mengalir, begitu juga pilek dari hidung. Masih belum fit benar," kata perempuan yang bulan depan berusia 67 tahun itu.
Ya, itulah keadaan terkini Waldjinah setelah sepuluh hari dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo pada awal bulan lalu karena perdarahan usus serta penyempitan saluran darah. Raut muka penyanyi keroncong legendaris tersebut pun masih terlihat pucat.
Tatapan matanya juga tampak kosong dan sayu meski aura kecantikan perempuan kelahiran Solo pada 7 November 1945 yang pernah dijuluki "Cleopatra Jawa" itu tetap terlihat. Hari-hari pelantun Walang Kekek dan Jangkrik Genggong itu pun lebih banyak diisi dengan olahraga santai seperti jalan pagi dan kegiatan kerohanian.
Menurut sang suami, Hadijanto, yang setia menemani Waldjinah selama berbincang dengan Jawa Pos, penurunan kondisi kesehatan penyanyi yang telah melahirkan 400 album keroncong itu terjadi sejak akhir Agustus lalu. Gara-garanya sepele. Penyanyi yang pernah berduet dengan legenda pop Indonesia, Chrisye, itu terlalu asyik mengonsumsi snack keju pedas.
"Dia itu kan seneng ngemil. Nah, saat itu dia baru saja dibawakan jajan oleh saudara. Mungkin dirasa enak, jajan itu dimakan terus," katanya.
Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis Waldjinah menderita perdarahan usus parah. Sebuah penyakit yang pernah dideritanya dua tahun silam.
Awal berada di rumah sakit, kondisi Waldjinah terus drop. Bahkan, tingkat kesadarannya menurun drastis. Setelah diperiksa secara menyeluruh, ternyata perdarahan usus bukan satu-satunya penyakit yang diderita ibu lima anak tersebut. Penyempitan saluran darah ke otak hingga gangguan jantung juga menggerogoti tubuh perempuan setinggi 158 cm itu.
Pada hari ketiga di rumah sakit, kondisi penyanyi langganan Istana Negara tersebut makin memprihatinkan. Ingatannya bahkan sampai hilang total. Sang Ratu Keroncong itu tidak lagi mengenal suami dan anak-anaknya. Kekalutan otomatis menghinggapi seluruh anggota keluarga juara I Bintang Radio Indonesia (sebuah kontes pencarian bakat menyanyi, Red) 1965 tersebut.
Kondisi itu berlangsung sampai dua hari. Karena itu, selain cara medis, untuk turut mendoakan penyembuhan penyanyi yang banyak membawakan karya Gesang, Andjar Any, dan Ismail Marzuki itu juga digelar pengajian.
Nah, di tengah kegalauan itu, salah seorang putra Waldjinah, Ary Mulyono, melontarkan ide: memperdengarkan lagu-lagu keroncong. Cara itu terbukti efektif, Waldjinah sedikit banyak ikut menyanyi mengikuti alunan lagu.
Melihat perkembangan positif itu, Ary mencoba memelesetkan lagu yang sering dinyanyikan sang ibu. Tujuannya apalagi kalau bukan sesegera mungkin mengembalikan ingatan sang bunda tercinta. "Walang kekek mencok neng kathok," kenang Ary saat memelesetkan sebait lagu yang identik dengan Waldjinah tersebut.
Baru sebait itu, Waldjinah langsung bersuara agak keras, "Kleru! Yang benar itu menclok nang tenggok. Bukan kathok," kata Hadi menirukan ucapan istrinya saat itu.
Mulai dari sana, perlahan-lahan, ingatan Waldjinah berangsur-angsur pulih. Dia sudah mengenal dan tahu kembali nama suami dan anak-anaknya. "Momen itu membuat kami yang berkumpul di kamar rumah sakit menangis haru," kata Hadi.
Kini, ingatan Waldjinah sudah pulih seperti sedia kala. Hanya kondisi fisiknya yang masih sangat lemah. Waldjinah pun kini sudah bisa mengingat dengan jelas masa-masa keemasannya dulu yang juga terwakili oleh sebanyak 45 penghargaan yang terpasang di dinding rumahnya.
Ke-45 penghargaan itu dari beragam tingkatan, mulai lokal hingga nasional. Tanda tangan yang terbubuh pada piagam-piagam tersebut juga tidak main-main. Mulai direktur Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) sampai wali kota, gubernur, menteri, hingga presiden.
"Penghargaan ini saya kumpulkan sejak lama. Salah satu yang spesial adalah yang diberikan oleh Bung Karno (Presiden pertama Indonesia) ketika saya memenangi bintang radio pada 1960-an," katanya.
Hampir setiap tahun, sejak kepemimpinan Soekarno hingga SBY, Waldjinah juga tidak pernah absen tampil. Hanya ketika pemerintahan Indonesia dikendalikan Megawati Soekarnoputri, dia tidak pernah diundang menyanyi ke istana. Ketika ditanya apa alasannya, Waldjinah menjawab tidak tahu.
Menurut dia, dengan bertemu langsung pemimpin negara, sedikit banyak dirinya mampu membaca gaya kepemimpinan setiap presiden. "Semua punya kelebihan dan kekurangan. Namanya juga manusia. Ada yang tegas, lucu, dan sangat bersahabat," katanya.
Pernah, kenang Waldjinah, suatu ketika dirinya tiba-tiba mendapat undangan dari Gus Dur yang kala itu menjadi presiden. Tanpa meneliti undangan itu, Waldjinah segera mencari tiket untuk terbang ke Jakarta.
Sampai di Istana Negara, Waldjinah yang saat itu mengenakan seragam kebesarannya, yakni kebaya, kecele. Sebab, ternyata undangan itu adalah undangan pengajian.
Selain malu, juga "sengsara." "Sengsaranya karena saya pakai baju kebaya, dan duduknya itu lesehan. Sungguh susah sekali. Pulang dari sana kaki dan badan saya gringgingen. Apalagi, saat itu sempat juga digojlok sama Gus Dur," katanya lantas tertawa.
Kenangan lain dari istana yang terus menempel di ingatannya adalah ketika namanya secara pribadi ditulis sendiri oleh mantan Presiden Soeharto dalam list undangan. Yakni, saat presiden yang berkuasa 32 tahun itu akan menikahkan anak bungsunya, Tommy.
"Saya tahu dari Mbak Tutut (putri Soeharto) kalau ternyata sebelum di-ACC oleh beliau, nama saya tidak ada (dalam daftar undangan). Pak Harto lantas menulis sendiri dalam daftar. Sangat bangga rasanya," jelasnya semringah.
Pak Harto dan istri, Ibu Tien, memang sangat menggemari Waldjinah. Setiap kali dia datang ke istana, keduanya memiliki lagu-lagu favorit yang harus dia bawakan. Kalau Ibu Tien, lagu favoritnya adalah Walang Kekek.
"Sebab, di situ ada syair yang berbunyi Ojo ngenyek yo mas, karo wong wedok. Yen ditinggal lungo, setengah mati. Itu kata Ibu Tien sangat menjunjung tinggi peran seorang perempuan," kenangnya.
Kini, meski belum bugar betul, semangat Waldjinah untuk terus bermusik tetap menyala. Impian tunggalnya sekarang adalah berduet dengan penyanyi kelahiran Papua, Edo Kondologit.
Waldjinah menyebut duet itu nanti bak perpaduan Indonesia Barat dan Timur. "Saya yang bersuara medok Jawa ini mewakili Barat dan Edo dengan suara khas Papuanya mewakili Timur," jelasnya.
Namun, tentu, untuk mewujudkan impian tersebut dia harus memulihkan kondisi fisiknya. "Doakan saya segera sembuh, ya. Kalau sudah sembuh, saya pasti menyanyi lagi," ujar penyanyi yang empat album miliknya dibeli produser asal Jepang untuk bisa dipasarkan secara eksklusif di Negeri Matahari Terbit itu. (*/c2/ttg)
GAYA berbicaranya terbata-bata. Sesekali pashmina bercorak bulu merak berwarna gold yang dikenakan saat Jawa Pos berkunjung ke kediamannya yang asri di Parang Cantel 31, Solo, Jawa Tengah, Selasa lalu (23/10), dia usapkan pada mata, hidung, dan mulut.
"Ya, seperti ini kondisi saya. Kadang air mata mengalir, begitu juga pilek dari hidung. Masih belum fit benar," kata perempuan yang bulan depan berusia 67 tahun itu.
Ya, itulah keadaan terkini Waldjinah setelah sepuluh hari dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo pada awal bulan lalu karena perdarahan usus serta penyempitan saluran darah. Raut muka penyanyi keroncong legendaris tersebut pun masih terlihat pucat.
Tatapan matanya juga tampak kosong dan sayu meski aura kecantikan perempuan kelahiran Solo pada 7 November 1945 yang pernah dijuluki "Cleopatra Jawa" itu tetap terlihat. Hari-hari pelantun Walang Kekek dan Jangkrik Genggong itu pun lebih banyak diisi dengan olahraga santai seperti jalan pagi dan kegiatan kerohanian.
"Saat ini saya ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Baik lewat salat atau puasa sunah. Sebab, kalau bukan amal ibadah, apalagi yang akan kita bawa untuk kehidupan akhirat nanti," tutup Waldjinah.
Menurut sang suami, Hadijanto, yang setia menemani Waldjinah selama berbincang dengan Jawa Pos, penurunan kondisi kesehatan penyanyi yang telah melahirkan 400 album keroncong itu terjadi sejak akhir Agustus lalu. Gara-garanya sepele. Penyanyi yang pernah berduet dengan legenda pop Indonesia, Chrisye, itu terlalu asyik mengonsumsi snack keju pedas.
"Dia itu kan seneng ngemil. Nah, saat itu dia baru saja dibawakan jajan oleh saudara. Mungkin dirasa enak, jajan itu dimakan terus," katanya.
Akibatnya ternyata cukup fatal. Badan Waldjinah menjadi lemas tidak karuan. Bahkan, saat buang air besar, yang keluar hanya darah. Hadi dibantu putra bungsu mereka, Bintang Nur Cahya, pun segera melarikannya ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis Waldjinah menderita perdarahan usus parah. Sebuah penyakit yang pernah dideritanya dua tahun silam.
"Seumur-umur, saya itu dirawat di RS, ya dua kali. Dua tahun lalu dan tahun ini. Cuma kok lebih parah sekarang ya," kata perempuan yang hingga kini sudah menyanyikan lebih dari 1.070 lagu tersebut.
Awal berada di rumah sakit, kondisi Waldjinah terus drop. Bahkan, tingkat kesadarannya menurun drastis. Setelah diperiksa secara menyeluruh, ternyata perdarahan usus bukan satu-satunya penyakit yang diderita ibu lima anak tersebut. Penyempitan saluran darah ke otak hingga gangguan jantung juga menggerogoti tubuh perempuan setinggi 158 cm itu.
Pada hari ketiga di rumah sakit, kondisi penyanyi langganan Istana Negara tersebut makin memprihatinkan. Ingatannya bahkan sampai hilang total.
Baca Juga:
Kondisi itu berlangsung sampai dua hari. Karena itu, selain cara medis, untuk turut mendoakan penyembuhan penyanyi yang banyak membawakan karya Gesang, Andjar Any, dan Ismail Marzuki itu juga digelar pengajian.
Nah, di tengah kegalauan itu, salah seorang putra Waldjinah, Ary Mulyono, melontarkan ide: memperdengarkan lagu-lagu keroncong. Cara itu terbukti efektif, Waldjinah sedikit banyak ikut menyanyi mengikuti alunan lagu.
Melihat perkembangan positif itu, Ary mencoba memelesetkan lagu yang sering dinyanyikan sang ibu. Tujuannya apalagi kalau bukan sesegera mungkin mengembalikan ingatan sang bunda tercinta. "Walang kekek mencok neng kathok," kenang Ary saat memelesetkan sebait lagu yang identik dengan Waldjinah tersebut.
Baru sebait itu, Waldjinah langsung bersuara agak keras, "Kleru! Yang benar itu menclok nang tenggok. Bukan kathok," kata Hadi menirukan ucapan istrinya saat itu.
Mulai dari sana, perlahan-lahan, ingatan Waldjinah berangsur-angsur pulih. Dia sudah mengenal dan tahu kembali nama suami dan anak-anaknya. "Momen itu membuat kami yang berkumpul di kamar rumah sakit menangis haru," kata Hadi.
Kini, ingatan Waldjinah sudah pulih seperti sedia kala. Hanya kondisi fisiknya yang masih sangat lemah. Waldjinah pun kini sudah bisa mengingat dengan jelas masa-masa keemasannya dulu yang juga terwakili oleh sebanyak 45 penghargaan yang terpasang di dinding rumahnya.
Ke-45 penghargaan itu dari beragam tingkatan, mulai lokal hingga nasional. Tanda tangan yang terbubuh pada piagam-piagam tersebut juga tidak main-main. Mulai direktur Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) sampai wali kota, gubernur, menteri, hingga presiden.
"Penghargaan ini saya kumpulkan sejak lama. Salah satu yang spesial adalah yang diberikan oleh Bung Karno (Presiden pertama Indonesia) ketika saya memenangi bintang radio pada 1960-an," katanya.
Hampir setiap tahun, sejak kepemimpinan Soekarno hingga SBY, Waldjinah juga tidak pernah absen tampil. Hanya ketika pemerintahan Indonesia dikendalikan Megawati Soekarnoputri, dia tidak pernah diundang menyanyi ke istana. Ketika ditanya apa alasannya, Waldjinah menjawab tidak tahu.
Menurut dia, dengan bertemu langsung pemimpin negara, sedikit banyak dirinya mampu membaca gaya kepemimpinan setiap presiden. "Semua punya kelebihan dan kekurangan. Namanya juga manusia. Ada yang tegas, lucu, dan sangat bersahabat," katanya.
Pernah, kenang Waldjinah, suatu ketika dirinya tiba-tiba mendapat undangan dari Gus Dur yang kala itu menjadi presiden. Tanpa meneliti undangan itu, Waldjinah segera mencari tiket untuk terbang ke Jakarta.
Sampai di Istana Negara, Waldjinah yang saat itu mengenakan seragam kebesarannya, yakni kebaya, kecele. Sebab, ternyata undangan itu adalah undangan pengajian.
Selain malu, juga "sengsara." "Sengsaranya karena saya pakai baju kebaya, dan duduknya itu lesehan. Sungguh susah sekali. Pulang dari sana kaki dan badan saya gringgingen. Apalagi, saat itu sempat juga digojlok sama Gus Dur," katanya lantas tertawa.
Kenangan lain dari istana yang terus menempel di ingatannya adalah ketika namanya secara pribadi ditulis sendiri oleh mantan Presiden Soeharto dalam list undangan. Yakni, saat presiden yang berkuasa 32 tahun itu akan menikahkan anak bungsunya, Tommy.
"Saya tahu dari Mbak Tutut (putri Soeharto) kalau ternyata sebelum di-ACC oleh beliau, nama saya tidak ada (dalam daftar undangan). Pak Harto lantas menulis sendiri dalam daftar. Sangat bangga rasanya," jelasnya semringah.
Pak Harto dan istri, Ibu Tien, memang sangat menggemari Waldjinah. Setiap kali dia datang ke istana, keduanya memiliki lagu-lagu favorit yang harus dia bawakan. Kalau Ibu Tien, lagu favoritnya adalah Walang Kekek.
"Sebab, di situ ada syair yang berbunyi Ojo ngenyek yo mas, karo wong wedok. Yen ditinggal lungo, setengah mati. Itu kata Ibu Tien sangat menjunjung tinggi peran seorang perempuan," kenangnya.
Kini, meski belum bugar betul, semangat Waldjinah untuk terus bermusik tetap menyala. Impian tunggalnya sekarang adalah berduet dengan penyanyi kelahiran Papua, Edo Kondologit.
Waldjinah menyebut duet itu nanti bak perpaduan Indonesia Barat dan Timur. "Saya yang bersuara medok Jawa ini mewakili Barat dan Edo dengan suara khas Papuanya mewakili Timur," jelasnya.
Namun, tentu, untuk mewujudkan impian tersebut dia harus memulihkan kondisi fisiknya. "Doakan saya segera sembuh, ya. Kalau sudah sembuh, saya pasti menyanyi lagi," ujar penyanyi yang empat album miliknya dibeli produser asal Jepang untuk bisa dipasarkan secara eksklusif di Negeri Matahari Terbit itu. (*/c2/ttg)
Berawal dari camilan, Waldjinah harus dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari dan sempat kehilangan ingatan. Impian tunggalnya di musik kini adalah
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Bergodo Kebogiro
- Rilis Album 'Samasta', Close to Breathe Bawa Nuansa Yang Lebih Beragam
- Dorong Pelestarian Musik Tanah Air, Lini Siap Dokumentasikan Irama Nusantara
- Fajar Ady Setiawan Bantu Musisi Muda Berkembang di Industri Musik
- Evolette Kembali Luncurkan Single Baru Pretty Girl Slay
- Siwon Super Junior Sempat Curhat Begini Sebelum Konser Hari Ini, Ternyata