Ingin Menang, Jangan Sembarangan Bikin Slogan
Senin, 11 Juni 2012 – 00:40 WIB
Hingdranata Nikolay. Foto: Soetomo Samsu
"Ilmu ini sangat cocok bila dipelajari para politisi. Karena ilmu ini juga mempelajari pola linguistik," ujarnya. Menurutnya, kata "bodoh;, "sakit", dan "lapar", merupakan bagian linguistik yang sudah marasuk dalam publik Indonesia. Karenanya, gampang diingat dan cukup mengena.
Hing, alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Atmajaya Jakarta ini, memberi contoh slogan capres 2009, yakni dengan membandingkan slogannya SBY dengan slogannya Jusuf Kalla. Slogan SBY "lanjutkan!". Sedang slogan JK saat itu, "lebih cepat lebih baik".
Menurut Hing, selain karena lebih simpel, slogan SBY juga cocok dengan "pola linguistik" masyarakat kebanyakan Indonesia, yang lebih suka kemapanan. "Rakyat Indonesia itu tipikalnya tak suka berspekulasi ke hal-hal baru, takut terjerumus pada ketidakpastian. Buktinya, Soekarno dan Soeharto bisa bertahan lama berkuasa," ujarnya.
Bagaimana dengan slogan JK? Menurut Hing, slogan politisi senior asal Makassar itu tidak sejalan dengan "alam pikir" rakyat Indonesia kebanyakan. Penduduk Jawa, sebagai mayoritas pemilik suara, tidak tersentuh dengan slogan JK itu.
HAMPIR semua calon kepala daerah mengusung slogan tertentu saat kampanye. Kalimat slogan sering kali menggunakan susunan kata yang kaku, normatif,
BERITA TERKAIT
- Semana Santa: Syahdu dan Sakral Prosesi Laut Menghantar Tuan Meninu
- Inilah Rangkaian Prosesi Paskah Semana Santa di Kota Reinha Rosari, Larantuka
- Semarak Prosesi Paskah Semana Santa di Kota Reinha Rosari, Larantuka
- Sang Puspa Dunia Hiburan, Diusir saat Demam Malaria, Senantiasa Dekat Penguasa Istana
- Musala Al-Kautsar di Tepi Musi, Destinasi Wisata Religi Warisan Keturunan Wali
- Saat Hati Bhayangkara Sentuh Kalbu Yatim Piatu di Indragiri Hulu