Ini Lho Imbasnya Jika Jokowi Minta Maaf ke PKI
jpnn.com - JAKARTA - Presiden Joko Widodo tidak perlu meminta maaf kepada keluarga korban dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, jika permintaan maaf dilayangkan maka bisa menimbulkan gejolak sosial.
“Oh enggak perlu (minta maaf). Imbasnya panjang. Itu gejolak sosial, jangan dipikir sederhana,” kata Wakil Sekjen DPP PPP Sudarto usai acara Ziarah dan Doa Memperingati Hari Pengkhianatan PKI Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10).
Jika permintaan maaf itu dilayangkan Jokowi, maka para keluarga korban dan pengikut PKI akan menuntut banyak hal. Salah satunya adalah permintaan rehabilitasi.
“Karena begitu dimaafkan itu berarti peristiwa yang pernah terjadi, PKI mengatakan negara bersalah. Kalau negara bersalah apa konsekuensinya? Banyak tuntutannya, panjang urusannya, dia akan minta kembali dipulihkan hak-haknya, direhabilitasi kembali dan mereka akan menuntut kembali partai komunis berdiri di Indonesia sama seperti partai-partai lain. Panjang dampak sosial dan politisnya, luar biasa itu,” tutur Sudarto.
Dia pun membandingkan hal itu dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia.
"Ya sama kayak kita dulu dijajah oleh Belanda, apakah kita rela sekarang sebagai anak bangsa mengatakan bahwa Belanda yang menjajah kita tidak bersalah? Enggak bisa begitu dong,” ungkap Sudarto. (gil/jpnn)
JAKARTA - Presiden Joko Widodo tidak perlu meminta maaf kepada keluarga korban dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, jika permintaan
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Pertamina Patra Niaga Uji Penggunaan Bioethanol E10 Bersama Toyota dan TRAC
- Polisi yang Ditembak Mati Rekan Sendiri Dapat Kenaikan Pangkat Anumerta dari Kapolri
- Sekte Indonesia Emas Dideklarasikan Untuk Mewujudkan Perubahan Sosial
- PFM Tegaskan Ada 15 Kementerian dan 28 Badan Teknis yang Perlu Diawasi
- Unilever Sebut Inklusi, Kesetaraan, dan Keragaman Kunci Bisnis Berkelanjutan
- Kapolri Ajak Pemuda Muhammadiyah Berantas Judi Online & Polarisasi Pilkada Serentak