Inilah Arti Kemenangan Benjamin Netanyahu bagi Israel
jpnn.com - PEMILU parlemen Israel nyaris sepekan berlalu. Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pun semakin mantap menuju periode keempat kepemimpinannya. Mendekati tuntasnya penghitungan suara, posisi Partai Likud kian kukuh, tak tergeser. Dalam hitungan hari, tokoh 65 tahun itu akan mengumumkan kabinet baru pemerintahannya.
Kemenangan Netanyahu Selasa lalu (17/3) bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Meskipun Zionist Union yang mengusung Isaac Herzog sebagai kandidat PM selalu memuncaki hasil polling, Likud-lah yang akhirnya menyabet kemenangan. Netanyahu lantas menyebut kejayaan partainya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prediksi masyarakat global.
Sampai malam menjelang hari pencoblosan, publik Israel dan internasional masih yakin bahwa parlemen akan dikendalikan oleh orang-orang baru. Netanyahu diyakini bakal tersingkir dari pemerintahan. Tapi, begitu hasil awal alias quick count dibacakan, Likud yang merupakan kendaraan politik Netanyahu justru memetik kemenangan. Juga, sang ketua partai tampak sangat menikmati hasil pemilu di luar dugaan itu.
Dalam edisinya Rabu lalu (18/3), majalah online Slate menyebutkan bahwa kemenangan di luar dugaan seperti hasil pemilu parlemen tersebut bukan kali pertama dialami Netanyahu. Pada 1996, dia juga sukses mencuri kemenangan dari Shimon Peres. Saat itu semua orang yakin bahwa Peres bakal menjadi PM baru. Tapi, bayangan tersebut langsung buyar saat esok harinya hasil penghitungan sementara berpihak kepada Netanyahu.
Pada pemilu 2009, Netanyahu merebut pemerintahan dari tangan pemimpin Partai Kadima, Tzipi Livni. Sebab, meskipun menang dalam pemilu parlemen, Kadima gagal membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai politik sekutunya. Karena itu, tugas membentuk pemerintahan sekaligus memimpin Israel pun jatuh ke tangan Netanyahu dan koalisinya.
Kini politik Israel kembali berpihak kepada Netanyahu. Politikus senior yang popularitasnya di dalam negeri sedang menurun tersebut kembali disorot karena kemenangannya dalam pemilu parlemen. Para pengamat politik yang telanjur menuliskan obituari politik pria yang akrab disapa Bibi itu pun kecele. "Ini bukti bahwa tidak ada politikus lain di Israel yang lebih sakti daripada Netanyahu," ungkap Janine Zacharia yang pernah menjabat kepala biro Washington Post di Kota Jerusalem.
Zacharia mengatakan, Netanyahu sudah kenyang asam garam politik Israel. "Dia adalah survivor (politik) yang sangat memahami insting para pemilih Israel," imbuh dosen tamu di Stanford University tersebut. Dia mengacu pada perubahan mendadak Netanyahu terhadap solusi dua negara.
Sejak sebelum pemilu, Netanyahu menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara yang didukung Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat sekutunya. Dalam berbagai forum internasional, dia juga menegaskan tanggapan positifnya terhadap wacana negara Palestina. Tapi, pada putaran kampanye terakhir, dia mengubah sikapnya.
Demi memanen suara para pemilih sayap kanan, Netanyahu menegaskan tidak akan pernah mendukung berdirinya Palestina sebagai negara. Benar saja. Perubahan sikap tersebut berbuah manis. Likud memenangi pemilu parlemen. Partai Netanyahu sukses mengamankan 30 kursi atau setara dengan seperempat jumlah penghuni parlemen.
Jiwa politikus dalam diri Netanyahu memang cukup jitu dalam membaca situasi. Sebab, selama dua dekade terakhir, dia terlibat dalam liku-liku politik Israel. Sebagai pemimpin, dia sangat sering mengusik solidaritas rakyat dengan menciptakan musuh bersama. Palestina dan Hamas misalnya. Cara itu cukup manjur untuk menggalang dukungan masyarakat.
Namun, sebagai politikus sejati, Netanyahu tidak mau selamanya terpaku pada satu sikap yang sama. Dia juga tidak pernah mengabadikan sikap politiknya menjadi sesuatu yang permanen. Baru saja menyatakan pertentangannya terhadap solusi dua negara, Netanyahu berubah pikiran. Setelah perubahan sikap pekan lalu mengantarkannya menjadi penguasa parlemen, dia kembali ke sikapnya pada 2009.
Ya, Netanyahu kembali menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara. "Dia tidak ingin menjadi pemimpin yang dimusuhi negara-negara sahabat. Apalagi, saat ini hubungan AS dan Israel sedang tidak harmonis. Karena itu, dia kembali ke sikap lamanya yang lebih bisa diterima masyarakat internasional," urai Zacharia. Tapi, tentu saja AS dan sekutu Barat-nya tidak begitu saja menerima perubahan sikap Netanyahu.
Saat media ramai memberitakan perubahan sikapnya yang begitu drastis, Netanyahu pun menanggapi dengan santai. Bukan Netanyahu namanya jika tidak punya alasan untuk membenarkan seluruh sikap dan kebijakannya. Kali ini dia mengatakan bahwa perubahan sikapnya terhadap solusi dua negara adalah buah negosiasinya dengan koalisi pemerintahan yang baru. (CNN/Slate/NewYorkTimes/hep/c1 1/ami/jpnn)
PEMILU parlemen Israel nyaris sepekan berlalu. Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pun semakin mantap menuju periode keempat kepemimpinannya.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Dokter Asal Arab Saudi Pelaku Serangan yang Menewaskan 2 Orang di Pasar Natal
- Pengelolaan Perbatasan RI-PNG Jadi Sorotan Utama di Sidang ke 38 JBC
- Bertemu PM Pakistan, Prabowo Bahas Peningkatan Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan
- 13 Orang Tewas dalam Kecelakaan Kapal di India Bagian Barat
- Demi Perdamaian, Negara Tetangga Minta Ukraina Ikhlaskan Wilayahnya Dicaplok Rusia
- Bertemu Paus Fransiskus, Arsjad Rasjid Bawa Misi Kemanusiaan