Investigator PBB Pegang Setumpuk Bukti Kekejaman Militer Myanmar
jpnn.com, NEW YORK - Penyidik HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB harus mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar pasca-kudeta
Andrews menyebut ada setumpuk laporan dan bukti foto bahwa pasukan keamanan menggunakan amunisi untuk menangani massa aksi unjuk rasa, sebuah tindakan yang melanggar hukum internasional.
Dia mengatakan, sanksi yang diusulkan termasuk embargo senjata dan larangan berpergian. Ia juga menegaskan kembali permintaannya untuk menjalankan misi di Myanmar.
Sementara Nada al-Nashif, Wakil Ketua Komisi Tinggi HAM PBB, menyebut sanksi apapun yang dijatuhkan oleh negara-negara dunia harus berfokus pada para pemimpin junta militer, bukan kelompok rentan.
Lebih dari 350 orang di Myanmar, termasuk para pejabat, aktivis, dan biksu, ditangkap sejak kudeta yang dilancarkan pada 1 Februari lalu.
Komisi HAM PBB mengatakan, ada pula beberapa yang mendapat dakwaan atas dasar yang meragukan.
"Kepada Dewan, kami merekomendasikan seruan terkuat yang memungkinkan untuk otoritas militer menghormati hasil pemilu, mengembalikan kekuasaan pada kendali sipil, dan segera membebaskan semua individu yang ditahan sewenang-wenang," kata Nada dalam pidato di hadapan Dewan HAM PBB.
Duta Besar Myanmar untuk PBB, Myint Thu, mengatakan bahwa pihaknya akan terus kooperatif dengan PBB dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Dewan Keamanan PBB harus mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar pascakudeta
- Resmi! Ini Jabatan Baru Retno Marsudi setelah Meninggalkan Kementerian Luar Negeri
- GP Ansor Kecam Israel Lakukan Genosida di Levant, Desak PBB Bertindak
- Israel Halangi 85 Persen Konvoi Bantuan Kemanusiaan yang Hendak ke Jalur Gaza
- Indonesia Ajak PBB Perkuat Kerja Sama dengan ASEAN melalui Perwakilan di Jakarta
- Menlu Retno Tegaskan RI tak Gentar Hadapi Teror Israel di Markas UNIFIL Lebanon
- UNICEF Ungkap Data Mengerikan soal Kekerasan Seksual: Ratusan Juta Gadis Jadi Korban