Ironi di Bintuni, Mumi Listrik di Digul
Minggu, 21 Agustus 2011 – 06:12 WIB
PLTA-PLTA baru sudah diputuskan untuk memasukkan sistem kelistrikan bagi desa terdekat. PLTA Peusangan di Aceh, PLTA Asahan-3 di Sumut, PLTA Baliem-2 di Wamena, dan beberapa proyek lagi, perencanaannya sudah mengakomodasikan koreksi tersebut.
Koreksi serupa mestinya bisa dilakukan di Bintuni. Setelah salat Tarawih, saya bertemu bupati, wakil bupati, dan ketua DPRD Bintuni. Kami dijamu makan malam dengan menu utama keladi dan pisang kukus disertai lauk kepiting dan udang Teluk Bintuni. Di meja makan itulah kami bicarakan jalan keluar untuk listrik Bintuni. Tiga alternatif kami sampaikan untuk bisa segera dilaksanakan oleh PLN.
Pertama, PLN akan minta barang dua sendok gas dari proyek LNG Tangguh. Kalaupun tidak ada lagi sisa, setidaknya PLN bisa minta gas yang setiap hari dibakar di menara bakar itu (flare gas). Kalau permintaan dua sendok itu dikabulkan, PLN akan membangun pembangkit kecil berbahan bakar gas di dekat proyek LNG Tangguh. Dari sini listrik dialirkan dengan kabel bawah laut 20 kV menyeberang ke Kota Bintuni. Atau gas tersebut kami kirim ke Bintuni dengan sistem compressed natural gas (SNG). Kalau permintaan itu dikabulkan, dalam hitungan delapan bulan Bintuni sudah akan terang benderang.
Kedua, kalau permintaan gas tersebut tidak dipenuhi, PLN bisa membangun PLTU mini di Bintuni. Kebetulan di samping kaya gas, kabupaten ini juga kaya batubara. Namun, membangun PLTU kecil di Bintuni jatuhnya sangat mahal. Membangunnya juga lama: paling cepat dua tahun.