Isu Gender Sampai Caleg yang Gagap
Rabu, 28 Januari 2009 – 09:33 WIB
Padahal dengan suara terbanyak tersebut, telah merangsang para caleg untuk all out merogoh kocek agar mendapat suara terbanyak di partainya masing-masing. Terang saja Mas Bambang keberatan, karena jika tiga caleg terpilih, satu di antaranya harus perempuan. Jika tidak ada perempuan, salah satu calon laki-laki harus bersedia mundur untuk memberi jatah ke caleg perempuan.
Baca Juga:
Tak rahasia lagi jika banyak caleg yang berkorban menjual aset atau bahkan meminjam dana, tapi karena keharusan keterwakilan wanita, caleg pria harus rela kehilangan kursi setelah berjuang keras. “Di mana letak keadilannya?" kata Bambang.
Kita yang bukan caleg, tapi ikut memilih menjadi tidak enak juga jika karena suara yang kita berikan dengan ikhlas malah menimbulkan konflik. Kita membayangkan seusai Pemilu, akan banyak caleg yang berbondong-bondong menyoal secara hukum tata negara karena merasa dirugikan. Tak selalu oleh caleg lelaki, tetapi juga caleg perempuan yang konsisten dengan quota keterwakilan itu.
Kira-kira, jika “dunia politik bengkok, maka hukumlah yang meluruskannya?” Saya tidak tahu, apakah ini yang namanya hukum politik atau politik hukum? Konon, politik hukum selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran, sementara hukum politik masih mengenal lobby, bargaining, atau kompromi. Manakah yang harus dipilih?