Jaga Perasaan Adik, Pilih Salat Gaib untuk Almarhum
Senin, 17 November 2008 – 12:52 WIB
”Apakah yang saya lakukan saat ini (dakwah ke komunitas-komunitas) hanya untuk polisi? Bukan,” kata pria berkacamata itu.
Pria yang pada 1987-1990 digembleng di Akademi Militer Mujahidin, Afghanistan, dan pernah satu kelompok dengan Amrozi cs itu mengaku telah bergabung bersama-sama masyarakat Indonesia. Dulu dia mengakui bersama polisi karena berstatus tahanan.
”Kini saya sudah bebas. Saya sayang dengan bangsa dan umat Islam Indonesia. Saya memberikan pemahaman bukan hanya soal jihad, tapi soal perdamaian, etika, dan akhlaq,” kata kakak kandung Parida Abas, istri mendiang Mukhlas.
Aktivitas Nasir Abas inilah –termasuk Ali Imron, kendati lebih terbatas– yang dianggap menghalangi pembenaran Amrozi cs terhadap aksi mereka pada tragedi bom Bali. Buntutnya, pada akhir 2004 Mukhlas menyatakan Nasir telah kafir dan keluar dari Islam. Nasir juga dianggap musuh Islam karena berpihak dengan musuh. Surat senada ditulis Mukhlas pada akhir 2007 juga meminta Parida memutuskan hubungan dengan Nasir.
Nasir mengaku tidak terkait dengan bom Bali dan tidak mengetahui perencanaan bom yang menelan 202 korban tewas itu. Namun, dia mengenal Mukhlas sejak lama. Mantan ketua mantiqi tsalis III Jamaah Islamiyah (JI) itu berkenalan dengan Mukhlas pada 1987 di Harbiy Sonjay, sekolah militer milik Tanzim Ittihad-e-Islamiy di Pakistan. Mukhlas adalah angkatan kedua sekolah itu.
Pada Juli 1990, Nasir bertemu lagi dengan Mukhlas di Malaysia. Saat itu dia terbang dari Afghanistan untuk pernikahan sang ustad dengan adik kandungnya (Paridah).
Lalu apa komentarnya tentang eksekusi dua adik iparnya, Mukhlas dan Amrozi, serta mantan muridnya di akademi Mujahidin, Imam Samudra? Nasir mengakui, dia dan istrinya (Ummi Husna) merasa sedih. ”Saya teringat dan terkenang masa lalu. (Tapi) saya harus menerima ini adalah takdir walaupun eksekusi ini dilakukan dengan direncanakan. Saya tidak perlu meratapi, menyesali, dan menangisi,” kata Nasir yang sempat ditahan karena kasus pemalsuan dokumen dan imigrasi itu. Dia tidak pernah diadili dalam kasus bom Bali.
Meski sedih, dia punya alasan mengapa tidak datang bertakziah di makam Mukhlas dan Amrozi di Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Minggu pekan lalu (9/11). ”Saya sebenarnya juga sudah lama ingin datang. Termasuk (membesuk) ke Nusakambangan. Tapi, karena Paridah di Tenggulun, padahal dia dilarang suaminya bertemu dengan saya, (maka) saya tak ingin bertemu Paridah (di sana) sehingga dia merasa berdosa,” katanya.
Meski masih kakak ipar Mukhlas dan Amrozi, tak mudah bagi Nasir Abas menyikapi eksekusi mati atas dua pelaku bom Bali I itu. Meski pernah mendapat
BERITA TERKAIT
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara