Jalan Tengah 'Perang Sawit'
Sabtu, 06 November 2010 – 00:45 WIB
PRODUSEN kelapa sawit nasional akan memboikot pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-8 di Jakarta yang berawal 8 November 2010 ini? Suara-suara itu berdengung sepekan terakhir ini, karena faktanya selama ini, para buyer lebih berkuasa dibanding produsen. Padahal, negeri ini menguasai sekitar 45 persen pasar CPO (crude palm oil) dunia. Tapi nyatanya, selama ini harga selalu dipatok oleh Rotterdam, Belanda, yang bersama Uni Eropa menjadi tempat para buyer. Tak ayal, kubu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pun terdengar menandingi RSPO. Toh, semua prinsip dan kriteria penanaman sawit lestari tercantum dalam ISPO itu. Tragisnya, selama ini walau sudah memegang sertifikasi RSPO, toh tidak mendapatkan harga premium untuk produk CPO yang dijual ke Eropa. Jadi untuk apa?
Dalam hati, saya merasa inilah "perang sawit" antara produsen dan buyer. Rupanya selama ini keluhan para produsen tidak pernah diapresiasi oleh buyer member "rezim bisnis sawit". Keputusan RSPO selalu melalui voting. Tentu saja, jumlah produsen atau grower yang 30 persen, selalu kalah melawan non-grower yang mayoritas. Diktator mayoritas, kira-kira?
Baca Juga:
Jadilah RSPO bagai "ladang pembantaian" dan bukannya untuk pengembangan sustainable palm oil yang syahdan hendak melindungi industri dan perkebunan sawit.
Baca Juga: