Jalan Tengah 'Perang Sawit'
Sabtu, 06 November 2010 – 00:45 WIB
Kawan-kawan NGO itu menggambarkan, bagaimana buruh terpaksa harus melibatkan anak-istrinya, juga terjadi pada masyarakat petani. Ayah, ibu dan anak-anak juga bekerja, seperti halnya di masyarakat nelayan maupun masyarakat miskin perkotaan. Bagi masyarakat "miskin", pertama-tama adalah makan. Bukan pendidikan dan kesehatan.
Kaum buruh perkebunan sangat sulit untuk menolak segala penderitaan ini. Mereka tidak punya alternatif, kecuali harus memburuh dan memburuh. Bahkan memburuh masih lebih baik dibanding menjadi petani gurem, atau petani milik sendiri dengan kepemilikan di bawah 0,4 hektare.
Menjadi petani juga butuh modal lumayan. Sementara nilai tukar yang diterima petani sangat tak memadai.
Jadi, walau upah tidak memadai dan jam kerja yang panjang, buruh perkebunan tak punya pilihan. Kendatipun beresiko, misalnya berbagai kasus kecelakaan karena peralatan kerja yang jauh dari memadai.