Jaman SBY Ditolak, kok Menteri Rini Kasih Lampu Hijau?
jpnn.com - JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmy Radhi menilai Menteri BUMN Rini Soemarno tak bisa dipisahkan dari terjadinya perpanjangan kontrak JICT oleh pihak Pelindo II beberapa waktu lalu. Pasalnya, Rini lah yang memberi lampu hijau kepada Direktur Utama Pelindo II ketika itu, RJ Lino untuk memperpanjang kontrak.
Peran Rini dalam perpanjangan kontrak ini memang sangat krusial. Dijelaskannya, Lino sebenarnya sudah ngebet memperpanjang kontrak sejak tahun 2012 silam. Namun lantaran menteri BUMN dan menteri perhubungan ketika itu tak memberi izin, dia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Ketika pemerintahan berganti dan Rini ditunjuk sebagai menteri BUMN, Lino bak mendapat angin segar. Pada 9 Juni 2015, bekas menteri perindustrian era Presiden Megawati itu mengeluarkan ijin prinsip perpanjangan kontrak.
“Hanya berbekal ijin prinsip menteri BUMN, tanpa ijin konsesi otoritas pelabuhan dari menteri perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani Perpanjangan Kontrak JICT pada 7 Juli 2015. Padahal, perpanjangan kontrak itu tidak tercantum dalam RKAP dan RUPS Pelindo II 2015," kata Fahmy dalam keterangan persnya, Jumat (25/12).
Padahal, lanjutnya, perpanjangan kontrak tersebut melanggar sejumlah undang-undang dan ketentuan. Di antaranya adalah UU No. 19/2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang ijin prinsip yang dikeluarkan oleh menteri BUMN.
Selain itu, Kontrak JICT melangggar UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan PP No. 61 Tahun 2009 tentang Pelayaran.
Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan.
“Selain melanggar peraturan perundangan, perpanjangan kontrak JICT juga merugikan Negara. Pertama, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar USD 215 juta lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar USD 231 juta," tegasnya.
Kedua, lanjut dia, jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2039 bisa mencapai Rp 39,49 triliun. Sementara jika diperpanjang, perusahaan pelat merah itu hanya mendapat Rp 20,85 triliun alias lebih kecil sekitar Rp 19 triliun dibanding kontrak tidak diperpanjang.
Lebih lanjut Fahmy mengatakan, perpanjangan kontrak JICT sudah jelas-jelas melanggar undang-undang dan merugikan negara. Karena itu, sewajarnya pemerintah membatalkan kontrak yang ditandatangani Lino tersebut.
“Rini Soemarno sebaiknya mengundurkan diri sebagai Menteri BUMN, karena perbuatannya telah melakukan pembiaran dan menudukung upaya perpanjangan kontrak JICT," pungkasnya. (dil/jpnn)
JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Fahmy Radhi menilai Menteri BUMN Rini Soemarno tak bisa dipisahkan dari terjadinya perpanjangan
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Pertamina Patra Niaga Uji Penggunaan Bioethanol E10 Bersama Toyota dan TRAC
- Polisi yang Ditembak Mati Rekan Sendiri Dapat Kenaikan Pangkat Anumerta dari Kapolri
- Sekte Indonesia Emas Dideklarasikan Untuk Mewujudkan Perubahan Sosial
- PFM Tegaskan Ada 15 Kementerian dan 28 Badan Teknis yang Perlu Diawasi
- Unilever Sebut Inklusi, Kesetaraan, dan Keragaman Kunci Bisnis Berkelanjutan
- Kapolri Ajak Pemuda Muhammadiyah Berantas Judi Online & Polarisasi Pilkada Serentak