Jangan Lupakan Peran WNI Etnis Tionghoa Sejak Masa Pra-Kemerdekaan Indonesia
Penjajah saat itu mengelompokan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada 1854.
Pertama orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang Cina, serta Inlander atau pribumi.
"Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif," kata Bonnie.
Karena itu, dia menyebut mereka yang berpikir seperti itu di saat ini sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran 'pra ke-Indonesiaan' atau sebelum awal abad 2020.
Titik perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial itu adalah ketika para pemuda bersatu pada tahun 1928 atau peristiwa Sumpah Pemuda.
"Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerahnya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras," ungkap Bonnie.
Keinginan bersatu ini, selain pada saat Sumpah Pemuda, juga diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Yang mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.
"Pahamnya nasionalisme modern yang tidak tersekat latang belakang agama, etnis, maupun, ras," tutur Bonnie.
Ada juga seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie yang sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional.
- Pakar Politik Menyamakan Jokowi dengan Pembunuh Berdarah Dingin, Ini Sebabnya
- Hasto PDIP: Bu Megawati Mencoblos di Kebagusan bareng Keluarga
- Pengamat Heran PDIP Protes Mega Ada di Stiker 'Mau Dipimpin Siapa?'
- Hasto PDIP Nilai Prabowo Sosok Kesatria, Lalu Menyindir Jokowi
- Hasto Bakal Kirim Buku Pak Sabam Biar Ara Sirait Melakukan Perenungan
- Tuduh Ara Bermain SARA di Pilkada Jakarta, PDIP Bakal Tempuh Langkah Hukum