Jangan Sampai DPR Tabrak Aturan yang Dibuat Sendiri
“Yang kami lihat sekarang posisi existing dunia penyiaran itu sudah berjalan, dan mereka itu sudah mendapat frekuensi sesuai prosedur,” jelasnya.
Firman mengakui, memang faktanya ketika masih menggunakan sistem analog terjadi semacam pengelompokan atau penguasaan frekuensi pada perusahaan tertentu.
Namun, kata dia, Baleg sudah secara proaktif mengundang semua stakeholder menentukan pilihan terbaik.
“Supaya frekuensi ini dikuasai oleh negara, tidak ada monopoli di mana pun baik swasta maupun pemerintah nantinya,” katanya.
Selain itu, ujar Firman, Baleg juga mencari solusi agar dunia usaha mendapat suatu kepastian hukum, supaya bisa menjalankan fungsi tugasnya sebagai industi penyiaran yang demokratis.
“Solusinya adalah cari jalan tengah. Karena mereka seperti yang punya empat diserahkan kepada negara tiga, dan (mereka) punya satu frekuensi. Yang punya dua diserahkan negara satu, dan dia hanya mengelola satu,” katanya.
Firman menambahkan, Komisi I DPR juga mengusulkan dalam UU ini agar kalau frekuensi dikembalikan kepada negara keseluruhan tidak terjadi sebuah bentuk monopoli di sektor swasta.
“Tapi, di sisi lain kalau frekuensi ditarik semua ke lembaga penyiaran pemerintah, maka UU ini akan membentuk monopoli yang baru, menggeser monopoli swasta. Ada monopoli baru, yakni di lembaga pemerintah,” katanya.
DPR menabrak dua aturan jika pengambilan keputusan Revisi UU Penyiaran di paripurna tidak terlebih dahulu dilakukan rapat pleno di Baleg.
- Rapat Bareng Baleg, DMFI Usul DPR Bisa Bahas RUU Pelarangan Perdagangan Daging Kucing
- Curiga Pernyataan Dasco soal Pembatalan RUU Pilkada Cuma Omon-Omon, BEM SI Minta DPR Terbitkan Surat
- Masih Ada Akal-akalan Demi Kaesang & Anies tetap Terjegal?
- Akal-akalan
- Parlemen Dikepung Massa, Pimpinan Baleg DPR Sebut Tak Ada Pengesahan RUU Pilkada
- Demo Besar Hari Ini: 1 Mahasiswa Ditangkap, Digeledah, Ada Jas Almamater Kuning