Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang

Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang
Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang
Jika demikian, mengapa sebagai negeri yang katanya melting pot tak meyakinkan untuk menampilkan capres semacam Obama di Indonesia? Padahal, JK sudah mencoba mengkritisi “mitos” politik itu.


Melting Pot

Memang, lebih awal lagi, Sultan HB X sudah membuka “kotak pandora” itu pada Oktober 2008, saat mendeklarasikan drinya sebagai calon presiden. “Jika saya membuka festival kebudayaan di Papua atau Sumatera, tak mungkin saya memalu gong Jawa,” katanya, dalam suatu acara SCTV. Begitulah, seorang Raja Jawa berkata di mimbar publik.

Sultan pun lebih memilih “Sumpah Pemuda”, satu bangsa, satu Tanah Air dan satu bahasa, ketimbang Sumpah Palapa. Jika yang pertama bersemangat kebhinneka-tunggalikaan, yang terakhir adalah sentralisme Gajah Mada yang menghegemoni Nusantara. Bahkan menurut Sultan, suatu fenomena “Jawanisasi” ala rezim Orde Baru.

Tapi dalam posisi itu, Sultan tetap sebagai presiden. Bukan sedang mendukung seorang tokoh yang bukan Jawa, yang mungkin akan lebih mengagetkan. Misalnya, Sultan mendukung Rizal Ramli dan Akbar Tandjung yang berasal dari Sumatera menjadi presiden, atau sekaligus JK saja. Hak Sultan mendeklarasikan diri sebagai kandidat, tentu selaras saja dengan nasionalisme Indonesia dan demokrasi.

KITA seolah-olah telah keluar dari “nasionalisme malu-malu, ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf “JK” Kalla mengomentari wacana

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News