Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang

Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang
Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang

Saya ingat kepada teori Melting Pot ala Anglo Conformity. Kira-kita, sebuah bangsa yang heterogen, baik etnik dan agama, haruslah membaur ke etnik atau agama mayoritas. Membaur tak berarti menghilangkan identitasnya. Tapi hanya memakai identitas untuk dirinya sendiri, dan tidak mengekspresikannya secara aktif. Menjadi calon presiden? Sudah pasti tak bisa, logikanya!

Untunglah, masih ada Melting Pot versi ethnic synthesis. He-he-he, sepertinya masyarakat dianggap benih yang bisa direkayasa secara teknologi. Kita pun teringat kepada karet sintetis, rekyasa dari karet alam, walau bandingan ini tak persis 100%.

Maksudnya, keragaman yang ada di sebuah bangsa membentuk melting pot baru dengan memetik sebagian unsur kultural dari masing-masing identitas yang ada. Lalu, muncullah identitas baru. Bentuknya, rada sinkretis secara ekstrim, tapi boleh juga sejenis hibrida, tapi tidak hanya dua unsur tapi banyak unsur sebagai representasi keragaman bangsa tersebut.

Namun melting pot berupa kebudayaan multukulturalistis, barangkali, lebih cocok dengan Indonesia. Teori ini menggambarkan bahwa heterogenitas yang ada tak menghalangi pihak manapun untuk mengungkapkan identitasnya, termasuk di pentas politik, tak terkecuali dalam menjagokan calon persiden.

KITA seolah-olah telah keluar dari “nasionalisme malu-malu, ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf “JK” Kalla mengomentari wacana

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News