Jejak Perempuan Tangguh Rokatenda Menenun Kain dan Membangun Asa di Pengungsian

Jejak Perempuan Tangguh Rokatenda Menenun Kain dan Membangun Asa di Pengungsian
Seorang penenun Rokatenda tengah menjual kain tenun di Pasar Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto: Meylinda Putri Yani Mukin/JPNN.com.

Mereka menjual tenunan itu dengan harga murah, yang penting cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan biaya urusan adat yang bersifat mendesak.

Mereka menjual hasil tenun warna alam dengan harga di kisaran Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu.

Harga itu sangat murah. Sebab, sepantasnya harga minimal tenunan ibu-ibu Rokatenda itu Rp 800 ribu.

Kondisi itulah yang dimanfaatkan para tengkulak. Mereka menampung tenunan hasil karya perempuan Rokatenda, lalu menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Namun, ada hal ironis karena para tengkulak itu mengambil hasil tenunan warga Rokatenda terlebih dahulu, sedangkan pembayarannya belakangan. Akibatnya, para penenun tidak langsung mendapat uang dari hasil keringat mereka.

Demi saling menguatkan sebagai sesama pengungsi, Erni dan 15 penenun lainnya membentuk sebuah kelompok tenun bernama Mbola So. Nama itu diambil dari bahasa Palue yang artinya terima kasih.

Para penenun memilih nama itu sebagai bentuk ungkapan terima kasih mereka kepada Pemkab Sikka. “Kami sangat berterima kasih atas bantuan Pemda Sikka. Kami diberi lahan dan uang untuk membangun rumah,” tutur Erni.

Sejak Erni dan para koleganya membentuk Mbola So, Hewuli yang awalnya untuk lokasi pengungsian pun berubah menjadi salah satu destinasi wisata tenun ikat warna alam.

Jejak perempuan tangguh Rokatenda menenun kain dan membangun asa di pengungsian. Simak selengkapnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News