Jelang Tujuh Tahun Perang Syria, Bagaimana Nasib Pengungsi?
jpnn.com - Pada 15 Maret 2018, Perang Syria akan genap tujuh tahun. Sampai sekarang, konflik senjata yang dipicu Arab Spring tersebut tak kunjung menunjukkann tanda-tanda bakal berakhir.
Di Provinsi Idlib, Rusia justru mengintensifkan serangan. Di Afrin, perbatasan Syria-Turki, militer Amerika Serikat (AS) dan pasukan Turki adu senjata.
Perang berkepanjangan yang ditumpangi banyak kepentingan itu membuat warga sipil menderita. Saat genderang perang ditabuh pada 2011, rakyat Syria sadar bahwa kematian sudah dekat.
Bertahan di dalam negeri jelas akan berujung kematian. Entah karena peluru nyasar, bom, atau rudal. Dan, bisa juga karena kelaparan atau penyakit. Tapi, mengungsi juga bukan jawaban karena hanya bersifat sementara.
’’Sebagian besar warga sipil Syria yang telantar di dalam negeri terpaksa bertahan dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Mereka tidak betah. Tapi, pulang ke tempat asal bukan pilihan yang tepat saat ini,’’ kata Sekjen Norwegian Refugee Council (NRC) Jan Egeland sebagaimana dikutip Al Jazeera kemarin, Senin (5/2). Sebab, pulang sama saja dengan setor nyawa.
Namun, para pengungsi Syria yang ditemui Egeland di beberapa negara Eropa pun merasakan hal yang sama. Tidak kerasan.
Sejak sekitar dua tahun terakhir, ratusan pengungsi Syria nekat pulang ke negara yang terletak di tepi Laut Mediterania tersebut. Tentunya dengan risiko yang sangat besar.
’’Syarat bagi mereka yang ingin pulang adalah sukarela. Tak boleh ada paksaan,’’ kata diplomat 60 tahun tersebut.
Pada 15 Maret 2018, Perang Syria akan genap tujuh tahun. Saat genderang perang ditabuh pada 2011, rakyat Syria sadar bahwa kematian sudah dekat.
- Tentara Assad Bombardir Sekolah dan Rumah Sakit, Brutal
- Aleppo Kembali Dibombardir Membabi Buta
- Israel dan Saudi Gatal Pengin Terlibat Perang Syria
- Parlemen Kompak Desak Trump Pertahankan Pasukan di Syria
- Ssst, Rusia Diam-Diam Kirim Senjata Penghalau Misil ke Syria
- Situasi Masih Panas, Pengungsi Syria Nekat Pulang ke Rumah