Jembatan Butuh

Oleh: Dahlan Iskan

Jembatan Butuh
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Nama-nama kiosnya pun ''liar''. Ada dawet Jembut –akronim dari Jembatan Butuh. Dawet itu biasa mangkal di dekat jembatan Butuh di kabupaten Purworejo.

Pemakaian kata jembut dan butuh sebenarnya agak keterlaluan, karena di Kalimantan ''butuh'' berarti kemaluan laki-laki.

Istri saya, orang Kalimantan, ikut antre beli dawetnya –sambil cekikikan bersama teman-temannyi.

Hampir tiap kios kami datangi. Benar. Semua menjual makanan kuno khas Yogyakarta. Dan karena itu disebut sebagai Pasar Kangen.

Ada bajigur, sego wiwit, sego megono, ketan lupis, pentil, cenil, cetil, sego jagung, jangan lombok ijo, walang goreng, geblek, slorot, wedang kembang tahu, sampai mendoan tampah –saking lebarnya.

Semua jenis makanan jtu tidak boleh dijual melebihi Rp 20.000. Itu peraturan yang dibuat Wahyu. Kalau memang bahannya mahal, porsinya yang dibuat kecil.

"Sekalian satu orang bisa belanja di beberapa kios," ujar Wahyu. "Agar terjadi pemerataan," tambahnya.

Sebenarnya saya ingin sampai malam di halaman itu. Sekalian melihat panggung musiknya. Di depan Balairung UGM memang dibangun panggung yang sangat artistik. Terbuat dari serbabambu. Ciptaan jurusan arsitektur.

Ada Mbok Brewok di halaman Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Saya sulit menyebutnya: dia atau ia. Tidak cantik juga tidak ganteng.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News