Jilbab, Najwa Shihab, dan Ide Socrates

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Jilbab, Najwa Shihab, dan Ide Socrates
Najwa Shihab. Foto: Dedi Yondra/JPNN.com

Oleh karena itu, ketika masalah ini diusik lagi, sebagian kalangan muslim langsung menyala panas karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap identitas.

Politik identitas atau politik aliran menjadi perdebatan sepanjang zaman. Di Indonesia perdebatan soal politik identitas lebih fokus pada isu politisasi Islam dan islamisasi politik.

Islam politik membawa aspirasi kuat untuk menjadi dasar negara yang diperdebatkan dengan sangat keras oleh para founding fathers menjelang kemerdekaan Indonesia, 1945.

Pancasila diterima sebagai dasar negara dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditaruh di posisi tertinggi, nomor satu. Namun, itu belum cukup.

Kalangan Islam masih minta supaya ada tambahan tujuh kata 'dan kewajiban menjalankan syariah bagi pemeluk Islam'. Tujuh kata itu seperti 'seven magnificent' yang menjadi perdebatan keras dan mengancam kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia yang bersatu.

Seven magnificent itu dihapus dengan berat hati dan uraian air mata kesedihan. Ada sense of defeat, rasa terkalahkan yang pahit.

Namun, momentum kemerdekaan tidak boleh hilang. Yang penting merdeka dulu, yang penting punya dasar negara dulu. Lain-lainnya diselesaikan belakangan.

Maka, ada kalimat 'hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.' dalam naskah proklamasi. Dan lain-lain (d.l.l.) itu apa saja, nanti diurus belakangan.

Nurcholis Madjid alias Cak Nur, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Prof Quraish Shihab menerima serangan pribadi yang sama, yakni soal jilbab.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News