Johannes Maria, Pastor yang Berjuang Menghidupi Museum Nias
Tak Rela Benda-Benda Pusaka Dijual ke Luar Pulau
Sabtu, 12 Juni 2010 – 08:24 WIB
Pemerintah daerah yang terdiri atas lima kabupaten di Kepulauan Nias tidak menganggarkan secara rutin untuk museum itu. Sejak didirikan pada 1990, tercatat hanya tiga kali dana segar mengucur dari pemerintah daerah. Itu pun setelah pengelola museum mengirimkan proposal ke pemda. Jumlahnya Rp 25 juta, Rp 200 juta, dan Rp 75 juta.
Uang yang didapat dari pengunjung museum juga tidak bisa diharapkan. Pada akhir pekan, museum bisa mendapatkan pemasukan Rp 1,5 juta dari penjualan tiket seharga Rp 2.500 per orang. "Itu sudah paling hebat ya," ujar Johannes lantas tersenyum.
Dia merasa, salah satu daya tarik museum terletak pada taman bermain yang dilengkapi koleksi binatang seperti buaya, burung laut, kera, dan musang. Taman bermain itu mengundang orang untuk berkunjung ke museum tersebut. "Mereka mungkin bilang, untuk apa lihat benda mati?" tuturnya.
Begitulah, kata Johannes, sangat sulit menciptakan kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat untuk mencintai serta mempelajari budaya sendiri. "Dulu di sini ada forum masyarakat peduli museum supaya masyarakat Nias punya rasa memiliki. Ini museum punya warga, bukan museum milik pastor atau museum Katolik. Kami tidak pernah bilang ini punya Katolik."
PASTOR Johannes Maria Hammerle OFMCap diakui masyarakat Nias jauh lebih Nias dibanding warga Nias. Agamawan asal Jerman itu bahkan termasuk budayawan
BERITA TERKAIT
- Setahun Badan Karantina Indonesia, Bayi yang Bertekad Meraksasa demi Menjaga Pertahanan Negara
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala