Johnny vs Amber

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Johnny vs Amber
Johnny Depp. Foto: Reuters

Oleh karena itu, gerakan-gerakan ini cenderung bersifat cair dan tidak punya pemimpin yang hirarkis.

Gerakan Mee Too menular sampai ke Indonesia. sebuah tagar ‘’Saya Juga’’ muncul di Twitter  untuk mendorong diskusi publik tentang kekerasan seksual yang makin luas. 

Namun, tetap saja, di Indonesia gerakan ini dibicarakan terbatas pada mereka yang melek media sosial dan perempuan di kalangan menengah-atas, serta para aktivis gender.

Sebuah survei menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual. 

Angka ini sama dengan rata-rata global yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia.

Kendati demikian, perbincangan publik mengenai kasus ini relatif terbatas.

Seorang aktivis feminisme menyatakan, kombinasi dari budaya patriarki yang sangat mengakar, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak sensitif gender merupakan penyebab mengapa gerakan Me Too tidak mendapat gaung yang besar di Indonesia. 

Budaya patriarki dan tradisi budaya dan agama yang konservatif membuat publik merasa tabu untuk mengungkap persoalan seks dan rumah tangga ke publik.

Kisah Johnny vs Amber menunjukkan rapuhnya institusi rumah tangga di Barat. Rumah tangga mereka penuh cerita mengenai kekerasan di antara kedua pihak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News